Awards Disway
HONDA

UMKM Bangkit Berkat KUR BRI: Kisah Para Perempuan Tangguh Mengubah Hidup dari Warung Kecil di Pesisir Bengkulu

UMKM Bangkit Berkat KUR BRI: Kisah Para Perempuan Tangguh Mengubah Hidup dari Warung Kecil di Pesisir Bengkulu

Kisah perjuangan dua perempuan tangguh dari pesisir Bengkulu menunjukkan bagaimana UMKM bangkit berkat KUR BRI.--Heri/rakyatbengkulu.com

BENGKULU, RAKYATBENGKULU.COM - Sore itu, angin laut berembus lembut menyapu garis pantai Bengkulu. Di sepanjang pesisir Pantai Panjang, suara ombak berdenting perlahan, bersatu dengan aroma kopi hitam, kelapa muda, dan jagung bakar yang mengepul dari warung-warung kecil yang berjajar di tepi pantai.

Salah satunya adalah sebuah warung sederhana dengan papan nama berwarna hitam bertuliskan, “Warkop Eva – Kopi, Jagung Bakar & Kelapa Muda.”

Di depan warung, seorang perempuan berkerudung tampak cekatan melayani pelanggan. Dia tersenyum ramah saat menuang air kelapa muda ke dalam gelas besar, sementara api di tungku jagung berdesis terkena lelehan mentega.

Dialah Eva Marlina (35), seorang ibu rumah tangga yang berhasil mengubah warung kecil menjadi ikon kuliner di seputaran Pantai Panjang Bengkulu.

Namun di balik senyumnya yang hangat, tersimpan kisah panjang tentang perjuangan, keputusasaan, dan kebangkitan yang lahir dari sebuah kesempatan bernama KUR BRI.

BACA JUGA:Tanggap Bencana, BRI Peduli Bergerak Cepat Salurkan Bantuan Bagi Warga Terdampak di Wilayah Sumatera

BACA JUGA:Program CSR BRI Raih Pengakuan Global Lewat Dua Penghargaan Internasional

Awal Perjuangan: Bertahan dengan Serba Terbatas

Eva memulai usahanya pada 2018. Dengan modal hanya Rp200 ribu, ia membeli arang, kopi bubuk, dan beberapa kelapa muda untuk dijajakan kepada wisatawan.

Saat itu, ia hanya ingin membantu perekonomian keluarga karena penghasilan suaminya sebagai nelayan tak pernah menentu.

Warung kecilnya saat itu hanya sekadar gerobak kayu dengan atap seadanya, menjadi tempat singgah favorit bagi para pengunjung sore.

Namun keberuntungan tak selalu berpihak. Ketika musim hujan tiba, Pantai Panjang sepi pengunjung. Pendapatan merosot drastis.

“Kadang saya cuma dapat Rp50 ribu sehari. Itu pun habis buat beli bahan lagi. Pernah kayu warung lapuk, tapi saya nggak punya uang buat perbaikan,” kenangnya.

Lalu datang pandemi COVID-19, yang membuat seluruh kawasan wisata ditutup. Warung Eva mati total selama berbulan-bulan. Tak ada pembeli. Tak ada pemasukan.

“Kelapa muda yang nggak laku terpaksa saya bagi ke tetangga. Saya bingung mau makan apa,” ujarnya lirih.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: