Kisah Ketahanan dari Batu Ampar, Inovasi Perempuan Alam Lestari Menjaga Kopi Tangguh Iklim
Kisah Ketahanan dari Batu Ampar, Inovasi Perempuan Alam Lestari Menjaga Kopi Tangguh Iklim--
KEPAHIANG, RAKYATBENGKULU.COM - Di balik hijau perkebunan kopi Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang, hidup kisah inspiratif tentang ketangguhan perempuan menjaga kopi dari ancaman perubahan iklim.
Mereka tergabung dalam kelompok Perempuan Alam Lestari, sebuah komunitas yang memaknai kopi bukan semata komoditas ekonomi, tetapi bagian dari budaya, identitas, dan benteng ketahanan ekologi.
Gerakan ini sejalan dengan arah kebijakan pemerintah terkait Program Strategis Nasional (PSN) ketahanan pangan, yang menempatkan sektor perkebunan dan adaptasi perubahan iklim sebagai pilar penting dalam menjaga keberlanjutan komoditas unggulan Indonesia, termasuk kopi robusta Bengkulu.
Ketua Perempuan Alam Lestari, Supartina Paksi, mengenang masa ketika produktivitas kopi anjlok akibat perubahan iklim.
BACA JUGA:Jangkauan MBG Meluas, 3 Dapur SPPG Baru Siap Beroperasi Awal 2026
BACA JUGA:Babak Belur Diamuk Massa, Oknum Camat di Seluma Kepergok Berduaan dengan Guru PPPK
“Kalau kami tidak mendeklarasikan Desa Kopi Tangguh Iklim atau tidak lanjut memperbaiki kebun, kami bisa gagal panen terus. Dampaknya besar sekali bagi kehidupan perempuan,” ujarnya.
Batu Ampar berada di kaki Bukit Hitam, berbatasan dengan kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kaba sebagai wilayah yang terkenal dengan potensi kopi robustanya.
Namun sejak 10–15 tahun terakhir, ritme tanam yang sebelumnya mengikuti pola alam berubah drastis. Musim hujan tak lagi menentu, kemarau kian panjang, dan penyakit tanaman semakin sering menyerang.
Perempuan petani kopi merasakan dampaknya paling awal. Hasil panen menurun, biaya perawatan melonjak, dan risiko gagal panen membuat banyak keluarga hampir terjerat utang.
Kondisi ini memperbesar potensi kerentanan perempuan mulai dari stres, beban kerja ganda, hingga risiko kekerasan domestik akibat tekanan ekonomi.
Data BMKG memperkuat pengalaman tersebut. Menurut Anang Anwar, Koordinator Data dan Informasi BMKG Kelas I Bengkulu, tren iklim Kepahiang menunjukkan peningkatan suhu dan anomali curah hujan yang signifikan.
“Curah hujan meningkat, suhu rata-rata dan suhu maksimum juga meningkat. Ini bukti perubahan iklim nyata terjadi,” jelasnya.
Perubahan ini tidak hanya merugikan petani. Berkurangnya pasokan kopi berpotensi mengganggu pasar lokal dan menaikkan harga, sehingga efeknya dirasakan hingga rantai pasok lebih luas.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


