Overklaim Herbal untuk Obat Covid-19 Dapat Dipolisikan

Selasa 11-08-2020,12:31 WIB
Reporter : redaksi rb
Editor : redaksi rb

BANYAK pihak mengambil keuntungan dari kekhawatiran masyarakat tentang Covid-19. Obat atau herbal yang belum teruji kerap diklaim bisa menangkal atau membunuh virus SARS CoV-2 ini. Hal tersebut yang menjadi perhatian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Beberapa oknum mengklaim bahwa herbal atau jamu bisa menyembuhkan dan membunuh Covid-19. Namun Ketua YLKI Tulus Abadi menyatakan bahwa tindakan tersebut tergolong dalam mengelabui konsumen. Sebab sampai sekarang, BPOM belum memberikan obat herbal untuk hal semacam itu. “Literasi masyarakat untuk obat-obatan kurang,” ungkapnya kemarin.

Selain itu diperparah oleh reaksi pemerintah dalam menyikapi Covid-19 ini. Tulus mencontohkan adanya pernyataan pemerintah  yang seolah menyepelekan Covid-19. Mulai dari doa qunut untuk korona hingga ramuan eucaliptus. ”Endorsement influencer dan  belum optimalnya penegakan hukum juga menyebabkan orang lebih percaya obat-obat yang mengklaim bisa menanggulangi Covid-19,” ucapnya.

Obat atau herbal yang beredar, menurut Tulus, harus ditinjau oleh BPOM. Klaim yang ditawarkan saat iklan harus sesuai dengan izin edar yang berada di BPOM. Jika overklaim, maka produsen bisa dikenakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

YLKI juga meminta BPOM agar bersinergi dengan berbagai pihak. Misalnya untuk menurunkan unggahan iklan obat di media sosial, bisa bekerjasama dengan Kementerian Kominfo. Selanjutnya untuk edukasi kepada konsumen bisa dilakukan kerjasama antara BPOM dan Kemenkes.

”Sebab maraknya peredaran obat herbal dengan klaim penyembuh Covid-19, dipicu oleh masih lemahnya literasi konsumen terhadap produk obat,” katanya.

Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM Maya Gustina Andarini menegaskan bahwa belum ada obat herbat yang menyenbuhkan Covid-19. Sejauh ini obat herbal hanya sebagai imunomodulator atau membantu daya tahan tubuh. ”Kalau kondisi sudah berat ya tida bisa lagi dibantu dengan herbal,” tuturnya.

Untuk sekarang ini ada 11 jenis imunomodulator yang penelitiannya didampingi BPOM. Maya enggak merincikan 11 jenis tersebut. Dia hanya menegaskan bahwa penggunaannya bisa berdampingan dengan obat. Justru ketika pasien punya komorbit dan harus minum obat, maka pemberian imunomodulator harus berdampingan dengan obat. Tak bisa memutuskan penggunaan obat. “Penelitian dilakukan di beberapa rumah sakit,” bebernya.

Penelitian ini dinilai perlu. Ini untuk membuktikan khasiat obat herbal secara ilmiah. Sebab, Indonesia memiliki berbagai macam herbal yang biasa digunakan untuk jamu. Jamu dikenal berbagai khasiatnya sejak jaman nenek moyang. Namun Maya menegaskan, untuk membuktikan apakah berkhasiat mengatasi Covid-19 harus dilakukan serangkaian percobaan. ”Kalau sekarang ada yang klaim bisa atasi Covid-19 itu keliru karena dulu tidak ada penyakit ini,” ujarnya.

Terpisah, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro menambahkan, saat ini LIPI bersama mitra dan asosiasi terapi tradisional Indonesia tengah melakukan riset terkait produk Imunomodulator berbahan herbal. Mulai dari proses skrining, uji in silico, penentuan kandidat, dan uji klinis.

”Produk Imunomodulator berbahan herbal ini merupakan kombinasi dari jahe merah, sambiloto, meniran, sembung, dan jamur cordyceps,” ungkapnya.

Hasil penelitian membuktikan, bahwa senyawa aktif dari berbagai herbal asli Indonesia ini dapat memulihkan respon imun, menekan peradangan, dan melawan infeksi virus. Saat ini uji klinis beberapa herbal masih berlangsung di RS Darurat Wisma Atlet.

”Kita sangat terbuka dengan penelitian herbal, tapi harus dengan cara yang benar,” tegasnya.

Selain itu, sebagai upaya kemandirian kesehatan dan bahan baku obat nasional, pengembangan Vaksin Merah-Putih terhadap semua strain virus COVID-19 terus dilakukan. Saat ini, upaya produksi protein rekombinan untuk membuat vaksin telah diselesaikan. Tim Vaksin Merah-Putih juga akan mencoba platform lainnya. Tidak terbatas pada Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, tapi juga para peneliti vaksin terbaik dari berbagai perguruan tinggi, lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), kementerian/lembaga, dan badan usaha akan turut melaksanakan penelitian ini.

Lebih lanjut Bambang menjelaskan, sensitivitas dan efektivitas Vaksin Merah-Putih akan lebih tinggi karena menggunakan isolat virus COVID-19 yang bersirkulasi di Indonesia. Saat ini sendiri, LBM Eijkman tengah mengembangkan vaksin menggunakan platform protein rekombinan yakni S dan N, dengan menggunakan sistem ekspresi sel mamalia dan yeast. Tahapan pembuatannya diawali dengan menggabungkan materi genetik virus SARS-CoV-2 ke dalam vektor ekspresi protein. Lalu, diekspresikan di sel mamalia atau yeast tersebut. Setelah protein rekombinan didapatkan, akan digunakan sebagai kandidat vaksin dari antigen virus yang terbentuk.

”Tahapan berikutnya adalah uji imunogenisitas dan efikasi di hewan coba sebelum berlanjut ke tahap scale up seed vaccine, uji klinis pada manusia, dan produksi vaksin skala besar,” paparnya. Untuk produksi vaksin akan dilakukan oleh Bio Farma sebagai satu-satunya produsen vaksin di Asia Tenggara. Tentunya, akan melibatkan Majelis Ulama Indonesia dalam pengembangan vaksin guna memastikan kehalalan vaksin.

Sebagai informasi platform protein rekombinan yang digunakan pada Vaksin Merah-Putih dianggap lebih aman dibandingkan dengan vaksin DNA dan RNA dalam hal replikasi protein. Platform ini juga dinilai lebih aman daripada keseluruhan virus yang dilemahkan atau dibunuh. Karena, tidak memerlukan pengembangbiakan virus dalam jumlah besar. (lyn/mia)

Tags :
Kategori :

Terkait