KEPAHIANG – Potensi dan kualitas tanaman kopi di Kabupaten Kepahiang yang belakangan sudah masuk pasar nasional, ternyata tidak dibarengi dengan kesadaran para petani kopi dalam peningkatan kualitas. Hampir sebagian besar petani kopi di Kabupaten Kepahiang enggan menjual kopi petik merah (cherry bean). Hal ini dikarenakan petani merasa merugi jika memaksa menjual kopi petik merah. Pasalnya saat ini di wilayah Provinsi Bengkulu, pasar kopi petik merah masih sangat minim dibandingkan dengan kopi biasa (asalan). Selain itu faktor keamanan tanaman kopi menjelang panen juga menjadi alasan kenapa hampir sebagian besar petani kopi di Kepahiang lebih memilih memanen kopi secara acak. Rahmat (47), salah satu petani kopi warga Kecamatan Ujan Mas mengungkapkan, awalnya beberapa petani kopi sempat tertarik dengan pengelolaan kopi petik merah. Namun sulitnya mencari pasar untuk menjual kopi petik merah di Provinsi Bengkulu, membuat para petani memilih mengelola kopi pascapanen dengan cara alami, yakni baik biji kopi berwarna merah, kuning dan hijau dicampur dan dijemur secara biasa di tengah terik mata hari. “Memang harganya mahal untuk kopi petik merah, bahkan harganya bisa mencapai Rp 120 ribu per kilogramnya. Tapi kesulitan kami adalah tidak ada yang mau membeli kopi petik merah tersebut. Sehingga kami kesulitan untuk meningkatkan perekonomian kami,” keluh Rahmat. Disisi lain, para pelaku kopi di Bengkulu saat ini pun banyak memilih membeli kopi sortiran, yang kemudian dijual di beberapa coffee shop dengan harga kopi premium (kualitas terbaik). Kondisi ini menurutnya semakin membuat petani kopi merugi, di tengah harga kopi yang terjun bebas saat ini. “Mereka embeli kopi sortiran yang harganya sekitar Rp 24 ribu hingga Rp 25 ribu per kilogramnya, kemudian mereka suguhkan kepada pembeli dengan harga kopi premium. Jadi untuk apa kami harus memanen kopi petik merah?,” jelasnya. (sly)
Kopi Asalan Menjanjikan
Kamis 17-09-2020,12:17 WIB
Editor : redaksi rb
Kategori :