Melanggar, Jatah Kampanye Dipangkas

Jumat 25-09-2020,11:26 WIB
Reporter : redaksi rb
Editor : redaksi rb

JAKARTA  - Aktivis kampanye di Pilkada 2020 bakal berbeda dari pelaksanaan di momen sebelum-sebelumnya. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 13 tahun 2020 tentang Pilkada di masa pendemi yang baru, Kampanye dengan tatap muka hanya menyisakan pertemuan terbatas.

Sementara kampanye rapat umum atau kampanye akbar resmi dihilangkan. Termasuk kegiatan kampanye dalam bentuk lainnya seperti konser musik, pentas seni, panen raya, jalan santai, sepeda santai, perlombaan, bazar, donor darah hingga HUT Partai Politik juga dilarang.

"Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon, Tim Kampanye, dan atau pihak lain dilarang melaksanakan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57," kata Plh Ketua KPU RI Ilham Saputra, Kamis (24/9).

Sementara untuk pertemuan terbatas, meskipun diperbolehkan, PKPU 13/2020 mencantumkan persyaratan yang cukup ketat. Yakni membatasi pertemuan dengan peserta maksimal 50 orang dan wajib menerapkan protokol kesehatan. Di antaranya wajib mengenakan masker dengan benar, menyediakan sarana cuci tangan dan hand sanitizer, serta menjaga jarak.

Lalu, bagaimana jika dilanggar? PKPU juga mengatur ketentuan sanksi. Disebutkan, jika terjadi pelanggaran, maka akan ada sanksi berjenjang dimulai dari teguran yang disampaikan Bawaslu. Namun, bila tidak diikuti, maka akan dilakukan pembubaran dan pengurangan masa kampanye selama tiga hari.

Komisioner KPU Indonesia Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menambahkan, sanksi yang dikenakan KPU hanya sebatas administrasi. Sementara untuk sanksi pidana hingga didiskusikan tidak dapat diterapkan.

"Di UU Pilkada tidak diatur pidana," ujarnya. Sementara ketentuan didiskualifikasi dalam UU Pilkada diatur secara terbatas hanya kepada Paslon yang melakukan money politic atapun memutasi pejabat di kurun waktu yang dilarang.

Oleh karenanya, jika sanksi pidana atau diskualifikasi diterapkan, maka dibutuhkan revisi UU Pilkada atau penerbitan Perppu. Meski demikian, dia menyebut kans sanksi pidana bisa dilakukan melalui UU Kekarantinaan Wilayah atau UU Wabah Penyakit oleh kepolisian.

Sementara itu, anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin menambahkan, pihaknya akan menindaklanjuti PKPU 13/20 dengan membuat aturan turunan. Itu dibutuhkan sebagai teknis pelaksanaan bagi jajaran pengawas yang melakukan pengawasan lapangan.

Disinggung soal jenis sanksi yang sangat minim dan relatif ringan, Afif mengakuinya. Namun, hal itu tidak lepas dari keputusan politik yang diambil. Di mana pemerintah tidak mengambil sikap menerbitkan perppu.

"Banyak hal mau progresif tapi mentok di UU Yang bisa maksimal dilakukan ya seperti itu," ujarnya. Sama halnya dengan KPU, Bawaslu juga tidak mematikan potensi sanksi pidana. Sebagaimana kesepakatan dalam Pokja, Bawaslu dapat merekomendasikan proses pidana kepada kepolisian.

Oleh karenanya, Afif mendorong paslon, partai politik hingga masyarakat untuk sama-sama punya komitmen menaati ketentuan yang dibuat. Sebab, meski sudah diatur rigit dan punya konsekuensi hukum, resiko dari aspek kesehatan masih tetap ada. "Kalau tindakan setelah orang kumpul, penyakit udah keburu tersebar itu. Maka harus dihindari orang berkumpul," imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah mengatakan, ketentuan PKPU yang memberikan ruang pertemuan terbatas membuka masih membuka potensi kerumunan. Jumlah maksimal 50 orang yang ditetapkan relatif cukup banyak untuk konteks pandemi. Apalagi, dalam sehari calon berkeliling ke banyak tempat.

"Kalau ada 50 orang di tiap titik, itu ada berapa," ujarnya dalam diskusi virtual.

Dia menambahkan, apa yang diatur dalam PKPU mencerminkan cara pandang yang normatif. Seolah-olah, peserta dan pemilih di Indonesia memiliki karakteristik yang patuh. Padahal, kultur berkerumun menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Juga kultur paslon yang senang keramaian. Terbukti, PKPU dilanggar saat masa pendaftaran.

Di sisi lain, jika penyelenggara memaksimalkan kampanye daring, efektivitasnya pun perlu dikaji. Sebab, tidak semua pilkada digelar di Jawa yang memiliki infrastruktur internet memadai. Di daerah di luar Jawa, daya jangkau internet terbatas.

Berbagai kerumitan tersebut, lanjut dia, semakin memperlihatkan pelaksanaan Pilkada di tahun ini sangat dipaksakan. Padahal, secara regulasi dan situasi lapangan mencukupi. "Artinya kita belum siap melakukan pilkada di masa pandemi,"

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih menambahkan, saat ini tenaga kesehatan cukup resah dengan kebijakan pemerintah yang melanjutkan Pilkada. Dia juga mempertanyakan pengambilan keputusan tidak melibatkan unsur kesehatan. "Kami menyayangkan unsur kesehatan ga diajak bicara," ujarnya.

Namun karena sudah menjadi keputusan final, pihaknya tak dapat berbuat banyak. IDI hanya berharap, penyelenggara dapat menjalankan pilkada secara tertib sehingga tidak memunculkan kluster baru. Agar lebih terukur, Daeng menyarankan KPU memperbanyak simulasi lapangan. Sehingga dalam pelaksanaanya bisa lebih baik. "Kalau terjadi lonjakan yang hebat faskes ga mencukupi untuk menangani," pungkasnya.

Di tempat terpisah, Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin mendukung adanya sanksi setegas diskualifikasi pasangan calon jika melanggar. Dia mengungkapkan bahwa sanksi tegas itu diperlukan demi menjaga paslon dan massa pendukung tetao pada rel protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah.

"Saya ingin ada sanksi yang lebih berat dan tegas dikenakan kepada para calon kepala daerah pelanggar protokol kesehatan," papar Azis kemarin (24/9). Dia bahkan menekankan khususnya untuk calon dari partainya, Partai Golkar, akan ada mekanisme internal yang diberlakukan bagi paslon pelanggar protokol.

Sanksi disesuaikan dengan tingkat kesalaha. Di mana yang terberat adalah diskualifikasi dan dicoret dari daftar palson yang diusung Golkar. "Jangan sampai Pilkada Serentak 2020 ini jadi catatan sejarah kelam bagi Indonesia dalam menjalankan pesta demokrasi," imbuhnya.

Dia mengingatkan para cakada nantinya mengutamakan penanganan Covid-19 di dan kesehatan masyarakat di atas visi misi politik lainnya. "Jadilah ikon influencer dalam mempromosikan protokol kesehatan dengan baik dan benar," lanjutnya. (far/deb)

Tags :
Kategori :

Terkait