JAKARTA - Pemerintah mengisyaratkan bahwa kewajiban tes akan juga diberlakukan pada moda transportasi darat seperti Bus. Namun melihat unsur kepraktisan penggunaan dan biaya tes, seperti pemerintah akan mengambil tes GeNose sebagai opsi terbaik.
Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengungkapkan bahwa kewajiban tersebut nantinya akan diatur dalam bentuk Surat Edaran (SE) Satgas. “Masih nunggu SE kemarin sudah di bahas di rapat kalau sudah ada kita jalankan,” kata Budi, kemarin. Sebelumnya, sempat ada wacana kewajiban tes bagi pelaku perjalanan dengan moda bus. Namun kendalanya adalah rasio harga yang terlalu mahal dibandingkan dengan harga tiket. Baik itu PCR maupun Antigen. GeNose dianggap lebih praktis karena biaya tes yang relatif murah yakni sekitar Rp 30 ribu sekali tes. Sempat ada usulan agar pemerintah memberikan subsidi pada biaya tes. Sehingga menjadi lebih murah. Bahkan bisa sampai gratis. Budi mengatakan, hal tersebut juga akan diatur lebih lanjut. “Sudah ada rumusannya, tapi info dari Satgas masih akan dirapat kan di tingkat menteri,” katanya. Sekretaris Jenderal Organisasi Angkutan Darat (Organda) Ateng Aryono menegaskan bahwa pihaknya tidak keberatan jika angkutan bus diwajibkan untuk dilakukan screening atau test untuk calon penumpang. ”Waktu itu kita menyambut baik bahwa akan ada (screening, red) GeNose di terminal-terminal tapi kemudian tidak lagi disarankan,” ujar Ateng, kemarin (27/6). Menurut Ateng, harga GeNose yang relatif terjangkau tidak akan membebani calon penumpang. Namun Organda menyebut jika screening test yang diwajibkan adalah swab antigen, maka asosiasi berharap pemerintah dapat memberikan bantuan atau subsidi. ”Angkutan darat itu punya segmen yang berbeda. Di sini adalah segmen transportasi termurah, dimana penumpangnya adalah kalangan yang sangat sensitif dengan harga,” tegas Ateng. Ateng memaparkan bahwa tingkat keterisian angkutan bus saat ini sudah cukup tertekan. Dari sebanyak 50 persen armada yang dioperasikan, angkutan antar provinsi hanya terisi di bawah 30 persen dan angkutan antar kota hanya sekitar 10 persen. ”Ini tidak ada pembatasan apapun, trafik penumpang rendah. Apalagi jika dibatasi pergerakan manusianya, akan semakin berat dampaknya,” bebernya. Organda berharap akses transportasi tidak perlu ditutup atau disetop secara total meski untuk sementara. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah keamanan dan prosedur yang dilakukan untuk mendukung transportasi tetap berjalan. Sejauh ini langkah yang dilakukan perusahaan bus adalah tetap mewajibkan penumpang untuk melakukan prosedur 3M dan memberikan disinfektan pada armada secara rutin. ”Misal ke depannya wajib discreening atau sebagainya kami rasa tidak apa-apa. Tapi penting bagi pemerintah untuk tetap men-drive sektor transportasi ini,” pungkasnya. Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman kemarin (27/6) menjelaskan bahwa adanya pengetatan pada simpul transportasi harus didukung dengan karantina. Artinya siapa pun yang datang ke suatu wilayah harus dilakukan karantina. Meskipun orang tersebut dalam perjalanan antar provinsi atau domestik. “Selama ini tidak pernah terjadi,” katanya. “Dari PPKM mikro harusnya tahu siapa yang pergi dan ada kepentingan apa,” ungkapnya. Izin ini bisa dikeluarkan dari klinik atau puskesmas di domisili. Harus ada kriteria, misal dinyatakan sehat atau berpergian karena esensial. “Yang namanya pengetatatan atau screening itu hanya jaring pertama, bukan yang utama,” ucapnya. Dia mengatakan hal ini yang sering diabaikan. Alat screening pun harus berbasis sains dan harus diuji oleh badan kesehatan. Sehingga dapat mengurangi potensi penularan. “Kalau hanya nyari yang lebih murah, ya itu salah,” katanya. Dicky menutukan bahwa sejauh ini belum ada publikasi internasional dari GeNose. Sehingga, kalau GeNose ini digunakan pada simpul transportasi dikhawatirkan tidak bisa menjadi “jaring”. “Kondisi saat ini menujukkan apa yang di bandara, pelabuhan, atau stasiun tidak berfungsi,” tuturnya. Dia menuturkan bahwa banyak kebijakan yang hanya berjalan di atas kertas saja. Pembatasan sosial yang sekarang dinilai tidak optimal. “Pilihannya adalah banyak yang meninggal atau lockdown,” katanya. Kebijakan pemerintah ini menurutnya juga harus dibantu oleh masyarakat. Sebab, jumlah masyarakat di Indonesia cukup banyak. Gerakan kesadaran masyarakat ini dapat timbul, menurut Dicky, harus didukung dengan menyampaikan data yang sebenarnya. Tim Peneliti GeNose dari UGM Dian K Nurputra mengungkapkan bahwa publikasi ilmiah tentang GeNose bukannya tidak ada, namun saat ini tengah proses. “Tim kami sudah submit paper-nya. Saat ini sedang di-review. Setelah lolos baru nanti diterbitkan,” jelas Dian. Dalam waktu dekat pihaknya juga akan menerbitkan versi pra terbit. Soal akurasi, Dian menegaskan GeNose tetap posisinya sebagai alat screening bukan untuk menegakkan diagnosa. Sama seperti antigen. Sehingga keduanya harus dipakai berdampingan. “Jika berbicara urusan akurasi, maka yang paling akurat tetap PCR. Sehingga apapun hasil dari antigen ataupun GeNose, konfirmasinya tetap ke PCR,” jelasnya. Namun sebagai alat screening, Dian menyebut Genose cukup sukses dan ketat dalam ‘menyaring’ pelaku perjalanan. Terbukti pada masa tenang sebelum lonjakan Covid-19 yakni para periode April-Mei 2021, GeNose tetap digunakan secara masif, tapi tidak terdeteksi lonjakan kasus. “Kalau GeNose gagal menyaring, tentunya pada saat itu sudah banyak orang positif yang lolos dan terjadi lonjakan kasus. Nyatanya tidak,” jelas Dian. (tau/agf/lyn)Transportasi Darat Bakal Wajib Tes GeNose
Senin 28-06-2021,11:05 WIB
Editor : redaksi rb
Kategori :