BENTENG - Bencana longsor selalu terjadi di kawasan liku sembilan Kecamatan Taba Penanjung Kabupaten Bengkulu Tengah (Benteng). Selain disebabkan adanya faktor cuaca yang ekstrem dan curah hujan yang tinggi, faktor hutan lindung (HL) sudah gundul dan digarap. Hasil Investigasi yang telah dilakukan RB, diketahui areal hutan lindung telah dijual murah.
Nominalnya rata-rata Rp 2 juta per hektare. Prosesnya, tanpa surat resmi seperti layaknya jual beli tanah pada umumnya. Diketahui, kawasan liku sembilan yang termasuk dalam bagian HL Bukit Daun Kabupaten Bengkulu Tengah luasnya mencapai 18.428 hektare. BACA JUGA: Lumpuh Total, Jalan Lintas Bengkulu – Kepahiang Belum Dapat Dilalui Terkini, diperkirakan lebih dari setengahnya atau di atas 50 persen sudah menjadi area perkebunan warga. HL dirambah, dengan dalil telah dibeli. Kasat mata, bila kita melintasi Liku Sembilan di pinggir jalan masih terlihat pohon - pohon rindang. Namun bila masuk sedikit saja ke dalam hutan, maka pemandangan jauh berbeda. Sepanjang mata memandang, kebun kopi terhampar luas. Jika sudah memasuki musim panen kopi khususnya saat petang, bisa diperhatikan di beberapa titik masuk kawasan ada saja warga yang diduga perambah menghentikan kendaraan. Menggunakan kendaraan yang sudah dimodifikasi, biasanya mereka membawa hasil panen kopi menggunakan karung. Malah di beberapa warung - warung kopi sisi jalan liku sembilan, tak jarang akan mudah terlihat hamparan kopi kering yang disinyalir diperoleh dari dalam kawasan HL. Salah warga yang memiliki Kebun sekaligus Kepala Desa (Kades) Tanjung Heran Kabupaten Bengkulu Tengah Paletehan mengungkapkan, HL di desanya sudah lebih dari 50 persennya dijadikan kebun oleh warga. Kebanyakan warga menebang pohon di sana. Setelah lahan gundul, warga menanam tanaman kopi. “Di desa kita ini berkisar kurang lebih sudah 75 persen sudah dijadikan warga kebun kopi. Merata, warga yang mengalihfungsikan kebun tersebut mengambil lahan mencapai satu hektare lebih untuk dijadikan kebun kopi. Warga yang mengalihfungsikan HL menjadi kebun, memang mayoritas warga asli Benteng,” cerita Paletehan kepada RB. Ia juga mengaku juga memiliki kebun kopi di kawasan HL tersebut. Versinya lahan telah dibeli dari salah satu warga dan sudah dilakukan beberapa tahun lalu. “Saya juga memiliki kebun, namun sudah dikelola sudah lama dan beberapa tahun yang lalu. Di kebun saya tersebut saya menanam kopi juga,” terangnya. Namun dia tidak menceritakan lebih lanjut, kepada siapa dia membeli lahan tersebut. Termasuk enggan membeberkan nominal dari pembelian lahan itu. Menurutnya, kebanyakan warga membuka lahan kebun di bagian dalam hutan. Apabila dari pinggir jalan tidak kelihatan. Namun apabila sudah masuk ke dalam hutan sudah menjadi kebun kopi semua. “Selain itu, warung remang-remang yang ada di Liku Sembilan itu juga masuk ke dalam kawasan HL dan mereka juga mendirikan warung tersebut tidak mendapatkan izin,” jelasnya. Salah satu warga Kecamatan Taba Penanjung, pemilik kebun yang sudah turun menurun Dambudi mengungkapkan tidak ada membeli lahan HL yang sudah dijadikan kebun. Masyarakat setempat yang membuka lahan untuk dijadikan kebun karena memang ingin berkebun, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kebanyakan warga juga sudah membuka sampai turun temurun, tentunya kebun digarap terus menerus. “Kalau saya baru tiga tahun ini membuka lahan kebun di HL di kawasan Liku Sembilan tersebut. Namun kebanyakan dari masyarakat di Taba penanjung ada yang sudah 20 tahun lebih berkebun di kawasan tersebut. Termasuk orang tua saya sudah 20 tahun lebih membuka lahan di kawasan tersebut,” terangnya. BACA JUGA: Jembatan Air Nipis Rusak, Butuh Analisis Teknis untuk Tentukan Penyebabnya Dia menambahkan, mewakili warga yang sudah terlanjur menjadikan lahan HL menjadi kebun. Ia dan warga yang lain meminta supaya mereka bisa menggarap ataupun berkebun dengan tenang tanpa ada rasa takut dengan petugas. “Apapun solusinya kita meminta untuk tetap bisa berkebun di kawasan HL tersebut, karena kita sudah terlanjur dan menanam di kawasan tersebut,” harapnya. Sementara itu, Koordinator Polisi Hutan KHPL Bukit Daun, Yurdani menegaskan, setiap warga mengalihfungsikan HL menjadi kebun kebanyakan warga mengarap hingga satu hektare. Kemudian, hasil dari pantauan mereka di lapangan memang sudah banyak sekali warga yang melakukan proses jual beli lahan tersebut. Dalam proses jual beli mereka hanya sebatas kesepakatan, tidak ada semacam SKT ataupun nota pembelian lahan tersebut. Hutan dibeli dengan harga cukup murah. Hanya Rp 2 juta, rata-rata satu hektare. “Dalam transaksi jual beli ini warga menjual berdasarkan tanam tumbuh mereka yang ada di lahan. Seperti usia tanaman kopi tersebut, kemudian melihat tanam tumbuh kopinya sudah besar apa masih kecil, sudah menghasilkan atau belum. Ada yang kita tangkap beberapa waktu lalu, warga tersebut ada yang mau menjual Rp 500 ribu dan ada juga yang menjual hingga Rp 2 juta. Semua itu kembali lagi dengan kondisi tanam tumbuhnya,” ungkapnya. Mengenai solusi, dijelaskan sudah banyak warga yang mengalihfungsikan HL sebagai lahan perkebunan adalah program Hutan Kemasyarakatan. Ia mengungkapkan, apabila program Hutan kemasyarakatan berjalan dengan baik, sangat membantu untuk mencegah bertambahnya HL yang dialihfungsikan menjadi kebun. “Jadi program Hutan Kemasyarakatan ini, merupakan kelompok masyarakat yang sudah terlanjur ataupun sudah lama membuka lahan dikawasan HL dan diberikan izin garap yang legal," terangnya. Baca Selanjutnya>>>Laporan Investigasi: Areal HL Liku Sembilan Dijual Murah, Prosesnya Cukup dengan Kesepakatan Lisan
Jumat 01-10-2021,12:12 WIB
Editor : redaksi rb
Kategori :