JAKARTA, rakyatbengkulu.com – Pemulihan ekonomi nasional diprediksi bakal tereskalasi berkat perbaikan permintaan domestik serta strategi Program Pemulihan Ekonomi (PEN) pemerintah pada 2022. Kondisi perekonomian diprediksi berangsur membaik, sebagaimana tampak dari daya beli masyarakat yang terdongkrak naik.
Hal tersebut disampaikan oleh Chief Economist BRI yang juga sebagai Research Director BRI Research Institute Anton Hendranata dalam Economic Outlook BRI 2022 bertajuk “Melanjutkan Pemulihan Ekonomi dengan Kewaspadaan” menyebut Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berpotensi untuk tumbuh di kisaran 4,8%-5,3% year on year (yoy) pada 2022. Hal ini sejalan dengan adaptasi masyarakat terhadap kondisi pandemi yang membuat mobilitas tidak terlalu terguncang.
“Kami meyakini ekonomi domestik bakal semakin pulih dan kuat, bila kondisi COVID-19 bisa tetap terjaga. Pemulihan ekonomi Indonesia sangat ditopang oleh kondisi permintaan yang meningkat, dari daya beli sampai belanja pemerintah serta adaptasi masyarakat terhadap kondisi pandemi,” ungkap Anton (21/12).
Komposisi konsumsi dalam pengeluaran rumah tangga mengalami peningkatan 570 basis poin (bps) dari 69,4% pada Oktober 2020 menjadi 75,1% pada Oktober 2021. Meningkatnya minat masyarakat untuk melakukan konsumsi didukung oleh tingkat vaksinasi COVID-19 yang tinggi serta restriksi mobilitas yang melonggar.
Meningkatnya permintaan, kata Anton, juga dipantik oleh strategi countercyclical melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang akan berlanjut pada tahun depan.
Outlook BRI memproyeksikan inflasi pada 2022 akan berada di level 2,8%-3,3% yoy. Dengan perbaikan ekonomi tersebut, BRI memprediksi tingkat pengangguran akan menyusut menjadi 6,3%-7,7%.
Di sisi lain, sejumlah tantangan juga mesti diantisipasi dalam proses pemulihan ekonomi di tahun depan. Adanya tapering off dan potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).
Seperti diketahui, Bank Sentral AS itu telah memulai proses pengurangan stimulus atau tapering off sejak November 2021. Namun, inflasi di AS yang melesat ke level 6,2% yoy disebut Anton berpotensi mengubah arah kebijakan moneter AS.
“Inflasi ini memacu AS untuk mempercepat normalisasi moneter yang disertai peningkatan nilai tapering off dan bisa segera mengerek suku bunga acuan untuk menghindari overheating. Ini akan membawa dampak bagi Indonesia sebagai emerging market,” ucap Anton.
Anton menyebut Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas moneter tertinggi di dalam negeri kemungkinan ikut mengerek suku bunga acuan pada 2022. Prediksi BRI, suku bunga BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) akan dikerek BI dari posisi saat ini yang sebesar 3,50% menjadi 4,25%-4,50%.
Pelaku industri perbankan, kata Anton, diharapkan memperhatikan kondisi likuiditas yang tidak akan selonggar tahun ini. Pasalnya, likuiditas bisa tedampak akibat ada perlambatan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK).
“Tren 25 tahun terakhir menunjukan Ketika ada ekonomi sedang menurun atau konsolidasi DPK akan berada di atas kredit. Sebaliknya Ketika dalam masa pemulihan atau ekspansi seperti tahun depan, Kredit kemungkinan melampaui DPK, kondisi likuiditas perlu menjadi perhatian perbankan,” kata Anton.
BRI telah mengantisipasi kondisi likuiditas untuk menjaga pertumbuhan penyaluran permodalan bagi UMKM, tulang punggung utama perekonomian Indonesia. Ruang bagi BRI untuk memompa kredit juga dapat dilihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) yang masih berada di level 83% atau berada di bawah ketentuan regulator yang sebesar 92%. Penyaluran kredit BRI hingga kuartal III-2021 masih didominasi oleh segmen UMKM dengan komposisi 82,67% terhadap total portofolio kredit.
Dari sisi permodalan, BRI memiliki rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) yang sangat baik untuk terus tumbuh secara berkelanjutan. CAR BRI berada di angka 24,54% atau tiga kali lipat dari threshold BI. BRI sendiri memproyeksikan pertumbuhan kredit perseroan pada tahun depan (2022) akan lebih baik dikisaran 8%-10% yoy.
“Ketika ekonomi mengalami pemulihan, industri perbankan akan mengikuti dengan pemulihan. Ini akan tampak dari growth kredit yang lebih tinggi dibanding tahun 2021 dan DPK yang tumbuh lebih terbatas,” tutup Anton.(ken/rls)