Mampukah Bank Digital Menjadi Solusi Pengembangan UMKM di Bengkulu?

Senin 18-04-2022,13:40 WIB
Reporter : redaksi rb
Editor : redaksi rb

Akses internet yang belum memadai serta minimnya literasi keuangan membuat pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Bengkulu sulit beradaptasi dengan layanan perbankan digital. Bank digital belum menjadi solusi pengembangan UMKM di Bengkulu.

BENGKULU, rakyatbengkulu.com - “Saya tidak berani gunakan layanan digital,” ungkap Devi Suriani (39) saat memulai perbincangan. Devi adalah pemilik Pondok Ikan Kering Lautan Biru di Jalan Pariwisata Pasar Pantai Malabero, Kota Bengkulu.

Sebagai masyarakat pesisir, berjualan ikan kering banyak dilakoni masyarakat setempat. Salah satunya usaha yang dijalankan Devi sejak 2013 lalu. Diakui Devi modal awalnya membuka usaha sebesar Rp 5 juta yang dia dapat dari menggadaikan BPKB sepeda motor miliknya ke salah satu leasing.

Dia berpikir hanya itu cara yang bisa dilakukannya untuk mendapatkan modal. Seiring perjalanan usahanya, dia pun mulai berani menambah modal dengan meminjam Kredit Usaha Rakyat (KUR) di BRI sebesar Rp 50 juta.

“Sempat pinjam KUR, tapi modal tidak kembali karena pandemi. Selama dua tahun penjualan anjlok,” keluhnya.

Kini dia kembali menambah modal. Bank digital menjadi alternatif sumber pendanaan bagi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) seperti Devi untuk mengatasi masalah dalam hal pengembangan usaha. Namun meski mudah diakses secara online, tampaknya bank digital belum cukup menarik bagi Devi.

Pilihan Devi justru jatuh pada koperasi keliling. Dia mengajukan pinjaman sebesar Rp 1,5 juta pada koperasi keliling tersebut. “Kadang pinjam teman juga. Kalau gunakan layanan digital saya tidak berani,” katanya.

Diakui Devi, selama pandemi Covid-19 penjualan ikan kering tidak begitu baik. Meski demikian, saat ini penjualan sudah berangsur membaik. “Kini sudah meningkat 70 persen. Rata-rata setiap hari bisa dapat jual beli Rp 1 juta di hari biasa. Kalau Sabtu-Minggu hampir Rp 2 juta,” jelas Devi.

Lebih dari 10 jenis ikan kering dijual Devi, seperti geleberan, beledang, teri nasi, dencis rebus dan lainnya. Termasuk udang rebon dan cumi kering. Ikan kering tersebut merupakan hasil tangkapan suaminya melaut.

Sementara untuk pemasaran, Devi tidak menjualnya secara online. Namun diakui Devi ada beberapa pesanan datang dari luar Kota Bengkulu, seperti Palembang, Riau, Lampung, dan Jambi. Sekali kirim pesanan bisa mencapai Rp 3 juta untuk berbagai jenis ikan.

“Pembayaran transfer dulu baru barang dikirim, biasanya yang pesan itu untuk dijual lagi. Tapi kalau sekarang saya stop dulu karena stok juga lagi sedikit,” ujarnya.

Di Bengkulu pelaku UMKM juga masih sulit mengakses beragam layanan permodalan usaha secara online. Sejumlah kendala masih dihadapi, seperti sulitnya akses internet di beberapa wilayah, terutama luar Kota Bengkulu. Selain itu, minimnya literasi keuangan juga masih dihadapi pelaku UMKM di Bengkulu.

Julianto, salah satu pengusaha produk gurita olahan kering di Desa Linau, Kabupaten Kaur. Bergelut dengan dunia usaha membuatnya mulai berpikir untuk mengenalkan produk olahannya hingga ke luar daerah.

Terletak di wilayah pesisir dengan memiliki potensi hasil laut yang kaya, Kabupaten Kaur dikenal dengan daerah penghasil gurita yang dibuat dengan menjadi berbagai macam olahan. Mulai dari olahan basah, menjadi gulai gurita, pindang gurita, sate gurita, hingga menjadi olahan kering, keripik gurita dan gurita kering yang sering dicari pengunjung yang sekedar lewat atau memang berlibur di Kabupaten Kaur.

“Target pasar kami memang wisatawan. Tapi untuk promosi akses internet yang tak memadai menjadi masalah,” katanya.

Diakuinya, di tengah gembar gembor desa wisata maupun desa digital ia bersama pelaku usaha lain hanya bisa gigit jari. “Daerah lain sudah kenal E-Commerce, kami buat posting jualan di media sosial saja harus mutar-mutar cari signal,” ungkap Julianto.

Julianto mengatakan, untuk bahan baku gurita olahan ini didapat dari nelayan tradisional setempat dengan harga basah Rp 70 ribu per kilogram. Bila dikalkulasikan, kebutuhan gurita basah selama satu minggu sebanyak kurang lebih 50 kilogram. Gurita tersebut kemudian diolah menjadi gurita kering dan keripik gurita.

”Untuk gurita kering kami jual dengan harga Rp 100 ribu per kilogram, sedangkan keripik gurita dengan harga Rp 40 ribu per kemasan 250 gram, dengan dua varian rasa pedas asin,” katanya.

Julianto mengaku saat ini pemasaran yang dilakukan kebanyakan pengusaha pengolah gurita masih memasarkan secara manual saja. Yakni dengan memajang di depan rumah masing-masing. Khusus untuk keripik gurita dititipkan ke beberapa tempat penjualan oleh-oleh di Kabupaten Kaur.

“Kami sebagai pengusaha kecil olahan gurita berharap, bisa dibantu dan difasilitasi dalam pengembangan usaha, baik produksi dan pemasaran,” harapnya. (rei)

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler

Terkini