KEJADIAN paling seru kadang justru yang tidak direncanakan. Dan itu terjadi kemarin. Di hari pertama Lebaran.
Di Banyuwangi. Acara kami: makan siang bersama. Tidak tahu di mana. Di mana saja bisa. Pasti ada restoran di sepanjang jalan ini: dari Banyuwangi ke Bangsring –lokasi wisata bawah laut, sekitar 12 km dari kota. Kami berangkat jam 12.30. Mereka harus menunggu acara saya selesai: berbincang dengan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi. Di kantor NU. Di pusat kota. Ternyata tidak ada resto yang buka. Pun ketika perjalanan sudah sampai di Ketapang. Ivo, istri Azrul Ananda, lihat Google. Ada. Hanya 5 km dari Ketapang. Setelah dilihat lebih jauh ternyata itu di Gilimanuk. Di Bali. Yang memang hanya 5 Km dari Ketapang. Mau menyeberang? Pakai ferry? Kan hanya 45 menit? Tidak. Kami terus ke utara. Ups.. Ada satu restoran besar buka. Ramai. Kami pun memasuki tempat parkirnya yang luas. Sebelum berhenti, petugas parkir datang: tidak bisa menerima order lagi. Terlalu penuh. Ya sudah. Ada lagi satu restoran Padang. Kecil sekali. Tapi juga penuh sekali. Maka tidak ada lagi tanda-tanda bisa makan. Tidak ada lagi bangunan di kiri kanan jalan. Yang ada hanya pepohonan. "Itu! Ada warung pinggir jalan," ujar Azrul seraya menunjuk bangunan tunggal yang sederhana. Sepi. Sendiri. Tidak ada pengunjung sama sekali. Cuma ada satu meja di emperannya. Ada cobek dan uleg-uleg di atas meja itu: alat pembuat rujak. Ternyata ada juga rawon, lodeh, dan mie instan. Di dalam rak kaca terlihat ada telur dadar dan potongan ayam goreng. "Saya rawon," kata Azrul. "Saya lodeh," kata istri saya. "Saya mie instan," kata sebagian cucu. "Saya rujak," kata saya. Kena serbu 12 orang –lapar semua– penjual makanan di warung itu bengong. Tidak tahu mana yang harus dituruti lebih dulu. Bukan. Dia tidak bengong. Dia merasa tidak mampu melayani serbuan massa yang lapar itu. Dia sendirian. Sudah tua sekali. Gemuk. Giginya ompong. Pakaiannyi lusuh. Melihat kegamangan itu balik kami yang bengong –bengongnya orang lapar.b"Bu," kata Ivo pada ibu tua itu. "Ibu duduk saja. Kami bisa melayani diri sendiri," tambahnyi. Ivo dan Isna langsung ke dapur yang sempit. Mereka mencari di mana nasi. Di mana lodeh. Di mana rawon. Di mana piring dan sendok. Cucu-cucu langsung membuka bungkus mie: bikin sendiri. Mereka hanya minta direbuskan air. Kompor pun dinyalakan. Sang ibu-tua hanya bisa melongo Baca Selanjutnya>>>Menyerbu Warung
Selasa 03-05-2022,09:10 WIB
Editor : redaksi rb
Kategori :