BENGKULU, RAKYATBENGKULU.COM - Kepulauan Natuna selalu menjadi perbincangan hangat di Tanah Air. Hal ini disebabkan, kapal-kapal nelayan dan Coast Guard China sering kali masuk ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia di perairan Natuna.
Di mana pemerintah Beijing mengklaim, kalau kapal nelayan serta coast guard tidak melanggar kedaulatan negara Indonesia.
Adapun dasar yang dipakai oleh Negeri Tirai Bambu tersebut, untuk mengklaim perairan Natuna adalah sembilan garis putus-putus (nine dash line).
Kepulauan Natuna secara geografis, terletak di garis terdepan yang langsung berhadapan dengan beberapa negara tetangga.
BACA JUGA:Asal Usul Petasan di Indonesia, Jejak Sejarah dari Zaman Majapahit
Dengan keberadaan lokasinya yang menjorok ke tengah Laut China Selatan, sehingga membuatnya rentan disengketakan.
Dimana letaknya diapit oleh wilayah Malaysia, yaitu Semenanjung Malaya di Barat, serta Sarawak di Pulau Bornoe.
Dikutip dari beragai sumber, sebenarnya Kepulauan Natuna dengan tujuh pulau di sekitarnya, pada abad ke-19 merupakan wilayah Kesultanan Riau dan pada 18 Mei 1956, sudah didaftarkan sebagai milik Negara Indonesia ke PBB.
BACA JUGA:Sejarah Kopi Dunia ! Peristiwa Boston Tea Party, Titik Kritis Teh, Kopi pun Populer di Amerika
Adapun cerita Natuna sampai ke tangan Indonesia, mempunyai catatan sejarah yang panjang. Dimana Kepulauan Natuna yang terdiri dari beberapa pulau tersebut, sempat menjadi perebutan sengit di antara dua kekuatan besar pada saat itu, yaitu Belanda dan Inggris, di tahun-tahun awal kedatangan bangsa Eropa tersebut ke Nusantara.
Selain itu, Belanda memilih mendirikan pusat pertahanan serta pelabuhan di Malaka setelah sebelumnya menyingkirkan Portugis dari daerah tersebut.
BACA JUGA:Sejarah Asal-usul Api Ada di Dunia dan Kisah Malaikat Jibril
Sedangkan Inggris, lebih memilih Bengkulu di Pantai Timur Sumatera sebagai basisnya. Selain itu, Inggris juga membangun kantor dagang di Tanjungpinang untuk mengontrol perdagangan di kawasan Selat Malaka.
Dimana konflik yang tak berkesudahan serta menimbulkan banyak kerugian di antara Inggris dan Belanda, sehingga mendorong keduanya melakukan perjanjian Anglo-Dutch Treaty di tahun 1824 untuk membagi batas wilayah kekuasaan kolonialnya masing-masing di Asia Tenggara.
Dalam perjanjian tertulis tersebut, adapun batas-batas laut di Selat Malaka serta Laut China Selatan yang sebelumnya kabur ditetapkan secara tegas di antara kedua negara tersebut.