Catatan Hendry Ch Bangun
BULAN lalu ramai dibicarakan soal permintaan maaf Tempo kepada Menteri Investasi/Kepala Badan Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia karena beritanya tidak akurat. Penilaian tidak akurat itu dibuat oleh Dewan Pers yang memeriksa para pihak setelah Bahlil mengadu bahwa pemberitaan Tempo pada edisi 4-10 Maret salah. Diadukan juga podcast Bocor Alus produk Tempo, tetapi dinilai tidak ada pelanggaran etik.
Dimana salahnya?
Yaitu tidak akurat. Disebut Bahlil mencabut ribuan usaha izin tambang nikel, padahal faktanya yang dicabut izinnya tidak sampai seribu, dan tidak hanya izin tambang nikel, tetapi tambang material yang lain.
Di grup WA wartawan banyak sekali senior yang menilai putusan Dewan Pers itu tidak layak diterima Tempo. Dikatakan, seharusnya cukup memberi hak jawab, tidak perlu meminta maaf. Apalagi yang dikerjakan Tempo merupakan kerja jurnalistik yang perlu upaya besar dan kerja keras. Tidak lupa, Tempo juga sudah berkali-kali berupaya melakukan konfirmasi tetapi tidak pernah terlayani karena berbagai alasan.
Sebagai orang yang kerap menangani pengaduan masyarakat terhadap media karena dianggap merugikan, saya faham suasana yang muncul dari putusan Dewan Pers. Pasti ada pro kontra.
Tetapi dalam kasus Bahlil vs Tempo, masalah diperberat karena ada berita yang tidak utuh mengutip keputusan Dewan Pers. Yang diangkat hanyalah Tempo harus minta maaf. Tidak disebutkan bahwa apa yang diberitakan merupakan pekerjaan pers dalam menjalankan fungsi kontrol yang dijamin UU Pers. Bahwa ada upaya untuk konfirmasi. Yang menunjukkan apa yang dilakukan merupakan kerja serius dan profesional.
Adalah hak media, awalnya dimuat di Antara, untuk memilih sudut pandang, tetapi memang menimbulkan bias. Pemahaman yang tidak utuh. Muncul mispersepsi. Sebenarnya di sini pihak yang dirugikan berhak atas klarifikasi, hak koreksi tetapi saya tidak menyimak apakah itu dilakukan. Media lainnya yang kemudian mengutip Antara seharusnya tidak berhenti pada informasi yang disampaikan kantor berita itu, mereka berkewajiban mencari sumber asli, informasi pertama, yaitu keputusan utuh Dewan Pers itu, yang tidak sulit diperoleh. Bisa ditanya atau dicari di laman dewanpers.or.id. Akhirnya, media pengutip membuat pemberitaan tidak utuh dan menimbulkan persepsi yang tidak utuh pula.
Kembali ke soal akurat, sebagaimana diatur dalam penanganan pengaduan, pelanggarnya memang harus minta maaf. Tidak cukup hanya hak jawab. Sejauh yang saya fahami, pimpinan media tahu hal ini. Minimal mereka akan tahu ketika proses mediasi dimulai.
Bagi wartawan akurasi adalah harga mati, sesuatu yang tidak bisa ditawar. Soal akurasi ini sangat ditekankan pada saat uji kompetensi. Para wartawan kelompok muda yang ikut UKW selalu diingatkan khususnya di mata uji Konferensi Pers, agar mengecek nama dan huruf-hurufnya. Jabatannya. Peserta juga minta kartu nama, agar tidak salah, dan dapat melakukan kros cek apabila ada informasi yang kurang.
Akurasi tidak bisa dianggap enteng karena itu wartawan harus selalu update data, karena untuk aparat polisi dan TNI misalnya dalam 1-2 tahun bisa naik pangkat atau pindah jabatan.
Wartawan juga diminta correct dalam memilih kata-kata. Ada saja yang salah menyebut antara terduga, tersangka, terperiksa, terdakwa, misalnya. Tujuannya agar tidak salah beritanya yang menimbulkan somasi minimal aduan ke Dewan Pers.
Oleh karena itu akurasi tidak bisa ditawar, dan tidak perlu dibela-bela karena main perasaan. Tidak akurat ya tidak akurat. Minta maaf.
Ada yang mengatakan, ah kan hanya beda tipis. Angka selisih sedikit. Opini seperti ini keliru kalau diterapkan kalau kita bicara soal akurasi.
Saya sendiri pernah mengalaminya, ibu seorang atlet kelompok umur marah-marah ketika ada salah ketik soal umur anaknya dalam berita saya. "Kalau benar umur anak saya seperti yang Bapak beritakan, berarti anak saya pencuri umur, artinya tidak sportif, tidak jujur," katanya.