
BENGKULU, RAKYATBENGKULU.COM - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu kembali mengembangkan penyidikan kasus korupsi pengelolaan Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM) Bengkulu.
Tiga pengusaha asal Jakarta Selatan kini resmi ditetapkan sebagai tersangka dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang berasal dari kejahatan korupsi tersebut.
Ketiganya merupakan jajaran pimpinan PT Tigadi Lestari, yaitu Kurniadi Benggawan (Direktur Utama), Heriadi Benggawan (Direktur) dan Satriadi Benggawan (Komisaris).
Penetapan tersangka diumumkan oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bengkulu, Ristianti Andriani didampingi Kasi Penyidikan Danang Prasetyo pada Rabu 16 Juli 2025 malam.
BACA JUGA:Perkuat Hubungan Bilateral, Konsul Jenderal India di Medan Kunjungi Bengkulu
BACA JUGA:Gagal Terpilih, 5 Mantan Anggota DPRD Kepahiang Malah Ditahan Karena Dugaan Korupsi Anggaran Setwan
“Setelah melakukan pemeriksaan lanjutan, ditemukan bukti bahwa dana hasil korupsi tidak hanya digunakan untuk operasional, tetapi juga dibelikan aset-aset pribadi di luar daerah. Oleh sebab itu, mereka kini juga dijerat dengan pasal pencucian uang,” kata Danang.
Tim penyidik menemukan bahwa dana hasil dari korupsi pengelolaan Mega Mall dan PTM mengalir ke luar Bengkulu dan digunakan untuk membeli berbagai aset, termasuk di wilayah Palembang.
Usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka TPPU, ketiganya kembali ditahan di Rumah Tahanan Kejati Bengkulu.
Kasus ini berawal dari alih status lahan Mega Mall dan PTM Bengkulu pada tahun 2004, dari Hak Pengelolaan Lahan (HPL) menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
BACA JUGA:Sidang Gratifikasi Mantan Gubernur Bengkulu: Uang Rp30 Miliar untuk Pilkada Disorot
BACA JUGA:Bulog Salurkan 3.247 Ton Beras Bantuan untuk 162 Ribu Warga Bengkulu
SHGB tersebut kemudian dipecah dua dan dijadikan jaminan pinjaman di bank.
Saat kredit bermasalah dan tidak kunjung dilunasi, SHGB justru kembali diagunkan ke bank lain. Hal ini memunculkan utang kepada pihak ketiga, yang memperparah kerugian.
Kemudian, sejak berdiri dan dikelola pihak swasta, tidak ada setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas daerah. Akibatnya, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga hampir Rp 200 miliar rupiah.