CEGAH KEJAHATAN SEKSUAL PADA ANAK
PANDEMI Covid-19 belum usai, dan sebarannya secara kuantitatif masih menunjukkan kurva yang belum juga melandai. Meskipun demikian, pemerintah telah menetapkan kebijakan New Normal, ini artinya masyarakat sudah dapat melaksanakan aktifitas sebagaimana biasa dengan pola kebiasaan baru, atau istilah lain disebut dengan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), sebahagian pihak menyebutnya dengan Perlaku dengan Kebiasaan Baru (PKB).
Apapun istilahnya, ini menandakan bahwa lambat laun masyarakat akan menjalani aktivitas dengan standar protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah dengan cara menjaga Pola Hidup Bersih dan Sehat melalui mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, memakai masker, menjaga jarak dan lain sebagainya.
Penerapan New Normal ini juga menyingkap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, selain persoalan ekonomi, politik, agama dan juga pendidikan, ternyata selama masa bekerja dari rumah (WFH) dan belajar dari rumah (LFH), tersingkap banyak kasus yang termasuk dalam kekerasan seksual.
Data dari KPAI menyebutkan bahwa selama tahun 2019 saja kejahatan seksual terhadap anak terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya, mereka mencatat jumlah korban mencapai 123 anak, terdiri atas 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki. Hal ini disampaikan Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti melalui keterangan tertulis yang dilansir Antara.
Merujuk data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) yang disampaikan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings dalam keterangan tertulis menyebutkan terdapat tiga ribu kasus kekerasan terhadap anak sejak 1 Januari hingga 19 Juni 2020. Diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual, angka ini tergolong tinggi.
Kabupaten Kepahiang mencatat bahwa terdapat 27 kasus sejak Januari 2020 hingga Mei 2020 Angka kekerasan terhadap anak. Bahkan Kepala DPPKBP3A, Periyandi melalui sekretaris DPPKBP3A, Linda Rosita menuturkan, angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Demikian juga menurut Sefty Yuslinah, Anggota DPRD Provinsi Bengkulu menyebutkan Provinsi Bengkulu saat ini masuk dalam daerah darurat kekerasan seksual terhadap anak, hal ini lantaran tingginya angka kasus kekerasan seksual terhadap anak dan incest di Bengkulu.
Yayasan Women Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan Bengkulu mencatat, ada 65 kasus korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Bengkulu yang mereka dampingi sepanjang 2019. Pada diskusi terakhir 17 Juni 2020, WCC mencatat kasus kekerasan seksual yaitu pencabulan sebanyak 110 kasus, perkosaan 39 kasus, incest 27 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran/KDP 16 kasus dan lainnya dari total 313 kasus.
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Bengkulu justru mencatat lebih sedikit angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Bengkulu sepanjang 2019 jika dibandingkan data milik organisasi lainnya yakni hanya 14 kasus saja, meliputi pencabulan, KDRT, pemerkosaan dan penelantaran.
Dinas Sosial Kota Bengkulu malah mencatat angka yang lebih besar dibandingkan UPTD PPA Kota Bengkulu. Dinsos Kota Bengkulu mencatat ada 49 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Kota Bengkulu sepanjang 2019. Sedangkan Unit PPA Polres Bengkulu mencatat angka yang lebih besar. Pihak kepolisian mencatat ada 134 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Kota Bengkulu sepanjang 2019.
Berangkat dari data-data ini, maka sesungguhnya masih terdapat peningkatan kekerasan seksual/kejahatan seksual yang terus terjadi dari tahun ke tahun, oleh karena itu perlu kiranya dipertimbangkan langkah-langkah strategis dalam rangka penanggulangan dan pendampingan korban tindak kekerasan seksual ini lebih intens. Jika tindak kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi, maka akan memberikan dampak yang sangat buruk terhadap masa depan anak itu sendiri. Sedangkan anak-anak merupakan generasi penerus bangsa. Seorang anak yang mengalami kekerasan seksual akan membuat anak menjadi trauma dan depresi. Karena apa yang dilihat dan terekam di waktu kecil akan terus hingga dewasa.
Pengelolaan penanggulangan dan pendampingan terhadap korban tindak kekerasan seksual terhadap anak ini menurut saya tidak bisa sebatas regulasi ancaman pidana sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2003. Melainkan harus dilakukan kebijakan dan tindakan turunan pada tingkat aksi.
Salah satu yang turut berperan adalah Dinas Sosial, baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, bahkan hingga tingkat terendah yaitu keluarga. Proses pendampingan harus dilakukan secara maksimal dalam rangka memulihkan traumatik korban.
Jika ditelaah lebih lanjut, paling tidak ada enam program yang menjadi kewajiban dari pemerintah, yaitu a) Memberikan pendampingan; b) Memulihkan trauma; c) Membantu keperluan atau kebutuhan seharian anak; d) Memberikan bantuan dalam bidang kesehatan; e) Memberikan bantuan rumah aman; dan f) Memberikan bantuan hukum. Beberapa peran tersebut, sebenarnya sudah menjadi menjadi tanggung jawab pemerintah.
Dinas Sosial Kota Bengkulu misalnya, sejauh ini sudah banyak melakukan berbagai tindakan dalam bentuk pendampingan dan penanggulanganyang dilaksanakan oleh Satuan Bakti Pekerja Sosial (SAKTI PEKSOS) dalam bentuk pendampingan proses hukum tingkat kepolisian hingga pengadilan, pemberian akses layanan psikolog, akses pendidikan, akses layanan kesehatan, reintegrasi sosial, rujukan layanan ke Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Alyatama Jambi. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah, sudah sejauh mana efektifitas dan efesiensi program tersebut terlaksana? Dan bagaimana upaya pemerintah dalam melibatkan stake holder lainnya dalam rangka penanggulangannya?
Hal ini penting untuk di review, sebab sejauh ini program-program tersebut masih stagnan dan belum dirasa efektif, kembali maraknya kekerasan seksual terhadap anak menjadi bukti bahwa ada problem yang belum terselesaikan sehingga grafiknya tidak menurun, bahkan selama pandemi ini kecendrungannya meningkat.
Dengan demikian, menurut saya sudah saatnya pemerintah fokus untuk melibatkan berbagai stakeholder yang ada dan terkait dengan penanggulangan, bukan hanya pelibatan dalam penanganan semata. Ada banyak instrumen yang dapat digunakan, diantaranya penguatan ketahanan keluarga dalam bidang mental spritual.
Bagi masyarakat, keluarga, atau orang tua diperlukan kebijakan, layanan, sumberdaya, dan pelatihan pencegahan kekerasan seksual pada anak yang konsisten dan terus menerus. Ada tiga strategi besar, yaitu Primer, Sekunder dan Tersier. Primer ini meliputi kemampuan pengasuhan dan menjaga agar perlakuan salah atau abuse tidak terjadi, meliputi perawatan anak dan layanan yang memadai, kebijakan tempat bekerja yang mendukung, serta pelatihan life skill bagi anak.
Selanjutnya strategi Pencegahan Sekunder ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan risiko tinggi dalam upaya meningkatkan ketrampilan pengasuhan, termasuk pelatihan dan layanan korban untuk menjaga agar perlakuan salah tidak terjadi pada generasi berikut. Kegiatan yang dilakukan di sini di antaranya dengan melalukan kunjungan rumah bagi orang tua yang baru mempunyai anak untuk melakukan self assessment apakah mereka berisiko melakukan kekerasan pada anak di kemudian hari.
Sementara strategi pencegahan Tersier diarahkan pada peningkatan kemampuan pengasuhan yang menjaga agar perlakuan salah tidak terulang lagi, di sini yang dilakukan adalah layanan terpadu untuk anak yang mengalami korban kekerasan, konseling, pelatihan tatalaksana stres.
Mungkin ketiga hal tersebut yang dimaksud oleh dengan Intervensi sosial, yang secara terminologi diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana oleh pekerja sosial dalam pemecahan masalah sosial, peningkatan keberfungsian sosial orang, perluasan aksesibilitas sosial dan pengembangan potensi dan sumber-sumber kesejahteraan.
Agaknya dapat juga dirujuk teori dikembangkan oleh Ivan Nye, yang meraih gelar Ph.D dalam studi Sosiologi di Universitas California, membagi teori yang berkenaan tentang sosiologi keluarga yang salah satunya adalah role theory atau teori peran. Teori ini dapat diderivasi dan diadopsi oleh pemerintah dengan pembagian peran dari masing-masing stakeholder, baik dari dinas pendidikan, dinas sosial, kepolisian, dan lembaga-lembaga adat serta lembaga sosial masyarakat lainnya.
Program penanggulangan ini penulis yakini tidak bisa dilakukan secara parsial, harus ada komunikasi yang strategis dan kerjasama yang berbasis sinergik. Akhirnya saya berharap tulisan singkat ini dapat bermanfaat agar kita bisa menghadang arus kekerasan yang kian hari kian meningkat. Jika tidak dilakukan secara tegas sejak dini, kita khawatir dimasa depan secara internal akan berdampak negatif bagi perkembangan jiwa anak, dan tentunya juga lebih dikhawatirkan lagi jika mereka adalah korban hari ini menjadi pelaku dimasa depan. Mudah-mudahan bermanfaat. (Oleh Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd. Penulis adalah ASN pada Dinas Sosial Pemerintah Kota Bengkulu)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: