Pandemi dan Konflik Membekukan Pendidikan di Afrika
Pandemi corona baru dan konflik bersenjata membuat sejumlah anak di Afrika tidak dapat lagi mengakses pendidikan. Mereka tidak dapat berangkat ke sekolah, tidak mendapat pengajaran, terbatas oleh fasilitas dan jarak.
BURKINA FASO, MAROKO, KONGO – Konflik membuat para guru meninggalkan wilayah Sahel, Burkina Faso, Mali. Hal itu membuat pendidikan pengungsi anak Mali yang tinggal di Kamp Mentao terhenti.
“Aku amat sedih karena harus tinggal di rumah sepanjang hari,” cerita Omar Ousmane (17), seorang siswa dari Kamp Mentao, sebagaimana dikisahkan UNHCR. Padahal, harapan Omar baru saja kembali bangkit. Ia akan menghadapi kelulusan akhir dan melanjutkan ke tingkat menengah.
Tidak ada sekolah yang bisa didatangi di wilayah asal keluarga Omar, Mopti. Keluarganya pun mengungsi ke Mentao untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Di Kamp Mentaolah Omar mendapat pendidikan pertamanya.
Orangtua Omar pun tetap mengusahakan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. Ayah Omar membawanya ke kamp pengungsi Goudoubo, dengan harapan tetap bisa melanjutkan sekolah. Namun, setelah tahun ajaran dimulai, masalah keamanan juga mengguncang Goudoubo.
“Saya sangat kecewa karena sekolah lagi-lagi ditutup dan saya tidak dapat menyelesaikan tahun ajaran baru,” Omar bersedih. Usianya sudah melebihi batas normal untuk memulai sekolah menengah-sesuatu yang selalu dialami anak-anak pengungsi. Sebanyak 2.500 sekolah telah ditutup di Burkina Faso karena kekerasan. Peristiwa itu merampas akses pendidikan 350.000 anak.
Sementara itu, di Kongo Timur, seorang ibu amat terpukul ketika putrinya yang berusia 9 tahun tidak bisa menikmati fasilitas pendidikan selama pandemi. Human Right Watch melaporkan, para ibu itu prihatin, karena bagi mereka, anak-anak mereka sudah kehilangan banyak hal, dan kini juga harus kehilangan pendidikan.
Bahkan, bagi sekolah yang menawarkan kegiatan belajar jarak jauh pun mengalami kesulitan. “Kadang-kadang kami tidak mendengar kabar dari seorang guru sepanjang hari, kemudian dia muncul pada jam 6 mengatakan dia tidak memiliki kredit internet yang cukup.,” aku salah satu pihak sekolah kepada HRW.
Problematika pendidikan di Afrika memang semakin menjadi. Andi Noor Faradiba dari tim Global Humanity Response – Aksi Cepat Tanggap menerangkan, ACT pun berikhtiar mendukung pendidikan anak-anak Afrika. “Sejumlah bantuan alat sekolah, Alquran, dan pangan pun kita lakukan untuk mendukung kehidupan anak-anak atau pun pelajar anak di Afrika. Kami berharap langkah kami juga diiringi semangat berbagi para dermawan,” jelas Faradiba. (rls)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: