Menghadapi Pandemi dari Dalam Tenda Pengungsi
Pandemi adalah ancaman bagi mereka yang tinggal di tenda-tenda pengungsi. Seperti di Suriah, para pengungsi hidup serba kekurangan dan berdesakan, sehingga pandemi diprediksi dapat memperparah krisis yang terjadi.
SURIAH – "Kamu ingin kami mencuci tangan? Beberapa orang bahkan tidak bisa memandikan anaknya selama satu minggu,” ujar seorang pekerja kemanusiaan kepada seorang reporter saat diwawancarai di sebuah pengungsian di wilayah barat laut Suriah. Barat laut sendiri adalah rumah bagi 2,7 juta pengungsi internal Suriah - setengah dari mereka adalah anak-anak dan banyak yang hidup berdesakan di kamp.
Pada Maret, ketika virus corona mulai menyebar dengan cepat di Timur Tengah, organisasi kemanusiaan di barat laut Suriah memang telah bersiap menghadapi bencana. “Pembatasan sosial adalah fantasi di sebuah kamp,” kata Kieren Barnes Direktur Mercy Corps di negara itu.
Menghadapi pandemi di tengah pengungsian memang lebih ngeri. Selain karena padatnya kondisi pengungsian, kebanyakan para pengungsi rentan tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk bertahan hidup di pengungsian. Jumlah pengungsi rentan ini kini telah meningkat secara dramatis akibat darurat kesehatan masyarakat.
Seperti di Suriah, negara itu terancam menghadapi krisis kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana 9,3 juta orang di negara itu kekurangan makanan. Kondisi diperparah oleh pandemi. Meskipun sudah bisa dikendalikan, pandemi diyakini masih bisa naik lagi.
World Food Programme (WFP) mengatakan jumlah orang yang kekurangan bahan makanan pokok di Suriah naik 1,4 juta orang dalam tempo enam bulan terakhir tahun ini. Juru Bicara WFP, Elisabeth Byrs, mengatakan harga bahan-bahan makan juga naik sampai lebih dari 200 persen dalam waktu kurang dari setahun, dampak keruntuhan ekonomi Lebanon dan pengetatan kebijakan untuk menekan penyebaran Covid-19 di Suriah.
Setelah sembilan tahun di kecamuk konflik bersenjata, lebih dari 90% populasi Suriah hidup di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan kurang dari US$ 2 per hari. Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Suriah, Akjemal Magtymova, mengatakan kebutuhan kemanusiaan di Suriah meningkat, di mana kurang dari separuh jumlah rumah sakit di Suriah yang beroperasi.
Aksi Cepat Tanggap (ACT) terus bergerak di Suriah menghadapi kondisi ini. Berbagai bantuan kemanusiaan ditujukan kepada para pengungsi untuk menopang hidup mereka selama konflik dan pandemi sekarang. Salah satunya bantuan pangan yang hadir berkala untuk pengungsi Suriah. Pada Senin (31/8) dan Selasa (1/9) lalu, bantuan tersebut menyapa keluarga pengungsi di Aqrabat, Idlib Utara, Distrik Idlib. Firdaus Guritno dari tim Global Humanity Response – ACT melaporkan penerima manfaat adalah mereka yang ada di lingkungan proyek pembangunan bricket houses.
“Total 900 jiwa menikmati paket pangan ini. Mereka adalah para pengungsi yang tinggal di pengungsian karena program bricket houses belum sepenuhnya selesai. Kebutuhan pangan mereka juga mengandalkan bantuan kemanusiaan,” kata Firdaus.
Bricket houses adalah sebutan lain untuk hunian sementara para pengungsi. ACT mengikhtiarkan 50 unit bangunan untuk menampung para pengungsi agar dapat pindah ke tempat yang lebih layak. "Bersamaan dengan ini ACT juga akan kembali membangun bricket houses di selatan Aqrabat, hasil dari dukungan sahabat dermawan. Pada tahap pertama, ACT telah membangun 50 rumah layak huni untuk Pengungsi Suriah di Salqin,” pungkas Firdaus. Dermawan juga dapat mendukung aksi-aksi kemanusiaan ACT di Suriah melalui donasi ke BNI Syariah 8800004348. (rls)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: