21 Tahun Undang-undang Pers, Masih Darurat Kebebasan Pers
BENGKULU – Sudah 21 tahun Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disahkan atau tepatnya pada 23 September 1999. Undang-undang yang seharusnya memberikan payung hukum bagi kebebasan pers dan perlindungan bagi jurnalis dalam menjalankan pekerjaannya. Namun faktanya sejumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis masih saja terjadi. Ironisnya, hadirnya UU Pers tak mampu menghentikan kasus kekerasan terhadap jurnalis tersebut. Kondisinya kini darurat kebebasan pers.
Hal ini diungkapkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu, Harry Siswoyo dalam tayangan Ngobrol Santuy yang disiarkan langsung melalui channel YouTube Rakyat Bengkulu dan Instagram rakyat_bengkulu_online, Rabu (23/9).
“Sejauh ini UU Pers menjadi pagar, namun problematikanya perkara sengketa pemberitaan masih belum mengacu pada UU Pers ini,” ujar Harry.
Menurut catatan Advokasii AJI Indonesia, setidaknya ada 53 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang April 2019 hingga Mei 2020. Kekerasan fisik menjadi jenis kekerasan terbanyak. Polisi juga sebagai pelaku kekerasan terbanyak terhadap jurnalis. Hampir tidak ada kasus kekerasan yang dituntaskan aparat penegak hukum meski sudah ada laporan dari AJI di berbagai kota.
“Problem sebelum UU Pers lahir dulu pernah terjadi kasus pembredelan media. Sekarang ini memang sudah tidak ada lagi pembredelan media, tapi sasarannya jurnalis. Masih adanya intimidasi terhadap jurnalis. Ini bisa terjadi karena literasi publik mengenai UU Pers masih terbatas. Acuannya masih KUHP,” terangnya.
Tak hanya itu, pemidanaan terhadap jurnalis juga masih terjadi, meski sudah ada Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri. Salah satunya adalah kasus yang menimpa Diananta Putra Sumedi, jurnalis Banjarhits.id/Kumparan.com. Kasus Diananta sudah diperiksa Dewan Pers, namun polisi tetap memprosesnya. Diananta kemudian divonis 3 bulan 15 hari penjara dalam sidang 10 Juni 2020 lalu.
Selain pemidanaan, serangan digital seperti doxing terhadap jurnalis Detik.com dan peretasan terhadap Tempo.co dan Tirto.id. Dua kasus peretasan itu sudah dilaporkan ke Polda Metro Jaya dan kasusnya masih dalam penyelidikan polisi.
“Kalau ada sengketa jurnalis selesaikan dulu di Dewan Pers pakai UU Pers. Ini tidak, kasus Diananta contohnya, acuannya KUHP bukan UU Pers. Percuma adanya UU Pers kalau KUHP yang dipakai,” katanya.
Melihat perkembangan ini, sehingga perlu untuk diingatkan kembali pada aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa dan hakim untuk kembali kepada Undang-undang Pers dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dan sengketa pemberitaan. (**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: