HONDA

Independensi Hakim Konstitusi

Independensi Hakim Konstitusi

 

NEGERI ini kembali dipertontonkan atas kekonyolan bukan komedi tetapi kinerja Dewan Perwakilan Rakyat, secara ugal-ugalan dalam situasi yang serba sulit seperti ini dengan  selalu bekerja mengatasnamakan rakyat tetapi tidak memberikan kesejahteraan terhadap rakyat dan anti mendengarkan aspirasi rakyat. beberapa waktu yang lalu rakyat dikejutkan oleh produk Undang-Undang yang baru disahkan DPR dalam rapat paripurna dan dalam waktu yang berbeda diteken oleh Presiden. Celakanya, UU Cipta Kerja ini telah mendapatkan berbagai penolakan dari sejumlah kalangan, mulai dari akademisi, organisasi masyarakat, mahasiswa, hingga buruh karena tidak masuk dalam prolegnas. Dengan euforianya DPR tetap mengesahkan UU Cipta Kerja yang dalam proses pembentukannya telah cacat secara formiil dan materiil. UU kontroversial ini secara resmi diundangkan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020. Hal tersebut mengudang duka yang haru melihat kinerja anggota dewan yang terhormat bekerja tidak tahu untuk siapa.

Polemik Bintang Mahaputera

Pasca diundang-undangkannya UU Cipta Kerja yang mendapatkan berbagai gelombang penolakan sejak awal. Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution merupakan konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 C ayat 1 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir berkaitan dengan memutus suatu perkara SKLN, PPP, PUU dan PHPU. Pada tanggal 11 November 2020 menjadi polemik yang mempertaruhkan marwah Mahkamah Konstitusi yang mana terdapat 6 Hakim MK Anwar Usman, Arief Hidayat, Aswanto, Wahiduddin Adams, Suhartoyo dan Manahan MP Sitompul menerima Penghargaan Bintang Mahaputera dari Presiden. Penghargaan ini sangat potensial untuk mempengaruhi independensi hakim dalam memutus perkara yang sedang berjalan di MK.

Peristiwa tersebut sungguh memalukan dunia peradilan dalam menegakkan konstitusi di negeri ini dengan melalukan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasardan besar kemungkinan terjadinya benturan kepentingan terselubung dibalik disematkannya penghargaan Bintang Mahaputera itu terhadap hakim dikarenakan MK saat ini sedang menangani salah satunya perkara Judicial Review UU Cipta Kerja dan Pemerintah salah satu pihak yang akan berperkara di mahkamah.

Seharusnya keenam Hakim tersebut sebagai Hakim Konstitusi harus berhati-hati dalam mengambil sikap dan secara etika hakim harus menjauhi hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.Terlihat jelas bahwa ini merupakan bentuk upaya intervensi pemerintah terhadap perkara hakim.

Mengutip Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang menilai janggal pemberian suatu penghargaan Bintang Mahaputera terhadap enam hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi oleh Pemerintah dalam hal ini Presiden, dikarenakan salah satu alasannya, karena pemberian penghargaan dilakukan saat keenam hakim tersebut masih menjabat. Disamping itu bahwa pernah terjadi hal yang sama hakim konstitusi mendapatkan tanda jasa, akan tetapi tanda jasa tersebut diberikan pada saat sudah selesai menjabat sebagai hakim konstitusi. Potret buruk ini sepertinya salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mempengaruhi putusan mahkamah dalam menangani pengujian undang-undang.

Di samping pemberian penghargaan itu juga terdapat upaya lain yang dilakukanuntuk mencoba menjinakkan hakim konstitusi melalui upaya Revisi UU MK. Dalam UU MK tersebut memuat sejumlah aturan yang dinilai menguntungkan hakim secara individu. Seperti penambahan masa jabatan hakim hingga usia 70 Tahun.

Pemberian penghargaan tersebut merupakan salah satu bentuk yang melanggar secara etika kelembagaan. Seperti Trias Politica tentang pembagian kekuasaan, maka lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif harus saling melakukan kontrol dan mengawasi. Pemerintah telah mencederai etika hakim Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang independen dan imparsial. Serta tindakan yang sangat gegabah dan pragmatis yang dilakukan hakim, seharusnya ditengah situasi negara yang darurat dengan berbagai persoalan berkaitan dengan produk undang-undang yang inkonstitusional dan cenderung akan kepentingan para elit pemilik modal bukan memperhatikan kepentingan rakyat kecil. Kemudian  jika ditinjau dari proses pembentukannya seperti UU Cipta Kerja telah menyalahi aturan terkesan bahwa UU ini merupakan titipan para investor asing yang ingin mengacak-acak regulasi di negeri ini.

Terlihat bahwa dengan sikap yang dilakukan keenam hakim, yang konon katanya hakim adalah wakil tuhan di dunia telah mencerminkan potret yang buruk karenaselevel hakim konstitusi masih membutuhkan dan haus akan pengakuan untuk menunjang  eksistensi diri daripada menjaga marwah dan independensi nya sebagai hakim konstitusi yang telah terikat dengan kode etik dan sumpah. Padahal Mahkamah Konstitusilah tempat pengujian undang-undang dan harapan terakhir rakyat  untuk mendapatkan keadilan terlepas dari berbagai gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang ada diseluruh wilayah indonesia dengan serentak menyuarakan #mositidakpercaya kepada DPR dan Pemerintah. oleh sebab itu maka berada di tangan kesembilan hakim MK amanah dan harapan tersebut digantungkan dan marwah peradilan akan dipertaruhkan apabila independensi hakim tergadaikan. (*)

Oleh Maulana Taslam. Penulis merupakan Kader HMI Cabang Bengkulu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

"
"