HONDA

Siasat Parkir, Agar Pendapatan Tak Terjungkir

Siasat Parkir, Agar Pendapatan Tak Terjungkir

Pemerintah Kota Bengkulu memutuskan untuk melelang seluruh area pelayanan retribusi parkir, mulai 2020. Pertama kali diterapkan di Indonesia. Mengejar pendapatan yang selama sepuluh tahun terakhir, tak mencapai target. Liputan ini terselenggara atas kerjasama Tempo Institute, Tempo, rakyatbengkulu.com, dan The PRAKARSA. ZONA enam, area parkir di tepi jalan umum yang digarap CV Putra Jaya, tampak sesak, Senin, 21 Desember 2020 lalu. Kawasan yang mengitari Pasar Panorama, pasar terbesar di Kota Bengkulu, itu nyaris tak pernah mati. Berlokasi di jantung Kota Bengkulu, sebagian dari zona parkir ini membentang dari Jalan Salak, Jalan Kedondong, Jalan Semangka, Jalan Belimbing, Jalan Mangga, Jalan Taman Remaja, Jalan Timur Indah, Jalan Dalam Pasar Panorama, hingga Jalan Lingkar Timur. Inilah zona tergemuk, dari total 12 zona pelayanan retribusi parkir milik Pemerintah Kota Bengkulu. CV Putra Jaya memenangkan lelang yang digelar Dinas Perhubungan Kota Bengkulu, Desember 2019 lalu, untuk mengelola jasa perparkiran di kawasan ini. Nasib kelanjutan pengelolaan parkir zona enam akan ditentukan Januari 2021 nanti. Rencananya, Pemerintah Kota Bengkulu akan mengevaluasi kinerja area gemuk tersebut. Kemudian, pemerintah akan memutuskan, apakah skema kerjasama tersebut menguntungkan dan layak untuk diteruskan. "Setelah selesai pilkada (akan kami bahas)," Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bengkulu, Hadianto, mengungkapkan, Selasa, 8 Desember 2020. Mulai tahun 2020, Pemerintah Kota Bengkulu memilih mekanisme lelang untuk menentukan pihak ketiga yang akan mengelola jasa retribusi parkir. Dengan skema ini, pemerintah berharap, bisa memperoleh penawaran harga yang optimal, sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Kebijakan ini diambil berdasarkan hasil evaluasi, karena dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, penerimaan pemda dari sektor retribusi parkir tak pernah mencapai target. Pada 2019 misalnya, jasa pengelolaan retribusi parkir hanya bisa mengumpulkan Rp 4,34 miliar, atau 86,8 persen dari target pemda yang senilai Rp 5 miliar. Angka itu bisa dibilang mendingan. Tahun-tahun sebelumnya malah lebih parah. Pada 2009, sektor ini cuma menghasilkan Rp 588 juta, alias 23,7 persen dari target yang ditetapkan Rp 2,47 miliar. Tahun berikutnya pun tak jauh berbeda, yakni terealisasi Rp 669 juta, atau 23,5 persen dari target Rp 2,85 miliar. Padahal, banyak area ‘basah’ di sektor perparkiran ini. Salah satunya, zona enam, yang mulai tahun ini dikelola CV Putra Jaya. Pusat kesibukan di zona enam adalah Pasar Panorama. Aktivitas bongkar muat sayur telah dimulai sejak malam hari, di sini. Pada dini hari hingga menjelang Subuh, giliran tukang sayur yang menyiapkan dagangan. Setelah itu, ibu-ibu silih berganti, berbelanja sepanjang pagi hingga siang, bahkan sampai sore hari. Beberapa titik di zona enam yang juga selalu rame, misalnya di depan Kampus II Universitas Muhammadiyah Bengkulu, depan kantor Bank BCA, dan depan kantor Bank BRI. Ketiganya berlokasi di Jalan Salak. Kantor Bank BRI berada persis di seberang Pasar Panorama. Sedangkan kantor Bank BCA dan Kampus II Universitas Muhammadiyah Bengkulu, berada satu blok di sebelah kanan pasar. Kendaraan nasabah silih berganti keluar masuk area parkir di kantor cabang pembantu kedua bank itu. Menjelang tengah hari, saat kafe dan resto mulai buka, pengguna parkir lebih banyak lagi. “Kalau mau ke BCA saja, jarang bisa dapat parkir persis di depannya,” kata Herri Aprizal, warga Kota Bengkulu. PEMERINTAH Kota Bengkulu membagi potensi retribusi parkir dengan sistem zonasi. Total terdapat 12 zona, masing-masing memiliki jumlah titik parkir yang berbeda. Zona enam misalnya, meliputi 142 titik parkir. Setiap titik berjarak sekitar 50 meter hingga 100 meter, sesuai dengan potensi. Menjelang penutupan tahun 2019 lalu, Dinas Perhubungan Kota Bengkulu membuka tender hak pengelolaan lahan parkir. Wilayah tergemuk, yakni zona 6, pertama kali ditawarkan kepada pihak ketiga. Sebelumnya, Dinas Perhubungan bersurat, meminta ‘fatwa’ Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). “Karena ini bukan lelang barang, namun jasa, jadi boleh dilakukan penunjukan. Tapi kami tetap membuka proses lelang,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Parkir Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bengkulu, Najamudin Najamudin. Pemerintah memasang pengumuman mengenai hal itu di kantor Dinas Perhubungan, selama sebulan. Hasilnya, CV Putra Jaya ditetapkan sebagai pemenang tender. Perusahaan menjanjikan setoran Rp 1,5 miliar setahun, yang pembayarannya dilakukan setiap bulan sebesar Rp 125 juta. Sedangkan 11 zona lainnya, berada dalam kewenangan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bengkulu, mulai 2020. Pemerintah Kota memang melimpahkan kewenangan mengurus retribusi pelayanan parkir di tepi jalan kepada dua organisasi perangkat daerah, yakni Dishub dan Bapenda. Dishub bertanggung jawab atas persoalan teknis di lapangan, seperti adanya temuan titik parkir ilegal. Dishub juga bertugas memberi rekomendasi penerbitan surat perintah tugas (SPT) parkir, tiga bulan sekali. Selain itu, menegur juru parkir yang melanggar aturan yang tertuang di SPT. Menyelesaikan persoalan di lapangan, misalnya jika terjadi sengketa antara juru parkir dengan konsumen atau pemilik toko. Adapun Bapenda, bertugas membukukan setoran retribusi, dan menerbitkan SPT parkir –berdasarkan rekomendasi Dishub-- untuk petugas di zona yang belum dilelang. Bapenda juga melakukan uji petik potensi pendapatan, serta mengevaluasi potensi penerimaan retribusi di setiap titik. TERKESAN receh, bisnis pengelolaan retribusi parkir ternyata bertabur gula. Satu titik lokasi, bisa seharga puluhan juta. Itu hanya kompensasi alias ‘biaya lahan’. Di luar itu, setoran bulanan tetap menjadi kewajiban, sesuai akad kerjasama atau Surat Perintah Tugas (SPT) yang diberikan pemda. Meski dilarang, penawaran jual beli lahan parkir oleh pemegang SPT berseliweran. Suatu hari, awal Desember 2020, seorang juru parkir berbisik: ada dua titik yang sedang dilego. Pemegang SPT menawarkan Rp 60 juta untuk masing-masing lokasi. Sepekan kemudian, satu titik sudah berpindah tangan, laku Rp 40 juta. Plus setoran bulanan sekitar Rp 2,5 juta ke pemda. Ada pula modus pengalihan pekerjaan juru parkir dari pemilik SPT kepada orang lain. Pola ini yang banyak terjadi, hingga muncul istilah bos kecil. Penyimpangan lain adalah menaikkan tarif secara sepihak, pada momen tertentu, seperti Lebaran. Bapenda sebenarnya sudah mengendus adanya praktik penyimpangan di lapangan. Lembaga ini mengidentifikasi, setidaknya ada dua penyebab utama penerimaan sektor retribusi tidak menembus target. Pertama, perpanjangan tangan dalam pengelolaan atau pengalihan pengelolaan. Indikasinya, pemegang SPT dengan juru parkir tidak sama. Dan kedua, titik parkir ilegal. Hadianto mengungkapkan tim dari Bapenda telah mengecek ke lapangan, dan meminta konfirmasi kepada juru parkir. “Kebanyakan berbeda antara pemegang SPT dan juru parkir. Setelah diperiksa, yang pegang SPT bosnya lagi,” ujarnya. Padahal, ketentuan mengenai hal itu sangat jelas. Dalam SPT, Pemerintah Bengkulu menetapkan tugas dan kewajiban juru parkir, yang salah satunya adalah melarang pengalihan tugas dan tanggungjawab kepada orang lain. Aturan itu juga tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 974/436/Bapenda/2020. Praktik penyimpangan pengelolaan retribusi parkir juga pernah menjadi penelitian akademisi Universitas Negeri Bengkulu. Meydio Varinza dan Muhamad Benardin menuliskannya dalam tesis bertajuk ‘Analisis Potensi Retribusi Parkir Di Wilayah Kota Bengkulu (Studi Kasus Soeprapto, Zona Parkir Sebelah Kiri)’, pada 2017 lalu. Hasil penelitian menyimpulkan, empat poin utama penyebab penerimaan retribusi parkir tak kunjung mencapai target. Pertama, banyak juru parkir menunggak setoran. Kedua, pengelolaan parkir di Kota Bengkulu belum maksimal. Ketiga, lemahnya perda retribusi parkir di tepi jalan umum. Dan keempat, terdapat kebocoran pemasukan akibat oknum petugas yang kongkalikong dengan juru parkir. Dalam kesimpulan disebutkan: soal kongkalikong sulit dibuktikan, tapi hal itu memang ada nyatanya. Tapi, Hadianto menilai, praktik pengalihan itu bukanlah bentuk kebocoran. Sebab, kewajiban setoran yang tertera di SPT, dengan uang yang diterima Bapenda sama. Menurut dia, persoalannya ada di target. Berdasarkan survei, hampir di setiap titik terdapat kenaikan pendapatan sebesar 75-100 persen. Artinya, angka yang ditetapkan terlalu rendah. “Target tahun ini masih menggunakan angka yang ditetapkan Dishub,” ujarnya. Kepala UPT Parkir Dinas Perhubungan Kota Bengkulu, Najamudin, mengatakan 80 persen pemegang SPT masih bertugas sebagai juru parkir. “Kami memaklumi juga, mungkin pemegang SPT sudah tua, sehingga tidak bisa melayani jasa perparkiran,” kata dia. Najamudin juga beralasan, pelayanan jasa retribusi parkir yang buka 24 jam tidak mungkin dilayani oleh pemegang SPT sendiri. “Tidak mungkin stand by 24 jam, pagi sampai malam. Wajar saja jika ada yang mengalihkan ke saudaranya,” katanya. Meski begitu, Najamudin meyakinkan, Dishub memberi teguran. “Tentu, tetap mengedepankan kemanusiaan.” Soal pengalihan SPT, Najamudin meyakinkan, akan menindak tegas yakni dengan tidak menerbitkannya kembali. Pemerintah Bengkulu menerbitkan atau memperbarui dokumen SPT setiap tiga bulan. Najamudin melanjutkan, Dishub memberi toleransi pemegang SPT yang memberi pekerjaan juru parkir kepada kerabat. “Misalnya, yang bersangkutan berhalangan, kami toleransi.” Berbagai praktik penyimpangan itu mendorong pemda untuk menggelar tender terbuka hak mengelola retribusi parkir. Bapenda juga menggelar uji petik potensi retribusi. Pada 2019, tim Bapenda mensurvei 235 titik retribusi parkir, selama hampir 24 jam, dalam 7 hari. Hasil uji petik menunjukkan, penerimaan mestinya bisa dua kali lipat dari target. PERTAMA kali di Indonesia, pemerintah daerah menggelar lelang terbuka hak pengelolaan pelayanan retribusi parkir. Pada Januari 2020, Bapenda mengusulkannya ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bengkulu. Lelang hak menikmati barang ini termasuk salah satu varian layanan lelang yang dikenalkan sejak dua tahun lalu, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Nomor 5 Tahun 2018. Sebelumnya, Bapenda harus mengumumkan rencana lelang terbuka itu di media cetak terlebih dulu. Lelang dilakukan melalui mekanisme e-auction, yakni penawaran secara terbuka yang dimulai pukul 10.00 sampai 12.00 WIB. Masyarakat dapat mengaksesnya melalui laman resmi KPKNL lelang.go.id. “Penawaran yang masuk terlihat langsung. Termasuk siapa yang menjadi pemenang, prosesnya terbuka,” kata pejabat Fungsional Pelelang Muda, Devi Afriyanti. Ia menjelaskan, Bapenda menawarkan 11 zona dalam lelang terbuka itu. Namun, hanya tiga zona yang ada peminatnya. Kini, “Area tersebut telah resmi dikelola oleh pihak ketiga sesuai hasil lelang KPKLN,” kata Hadianto. Ia menyebutkan, zona 2 diserahkan pengelolaannya kepada CV Arsy Rajendra, zona 9 kepada CV Ferdi Mandiri Utama, dan zona 12 kepada CV Alfaro Dewa Sejahtera. Dengan demikian, secara keseluruhan, ada 4 zona pelayanan retribusi perkir Kota Bengkulu yang dikelola swasta melalui mekanisme lelang. Satu lagi adalah zona 6 oleh CV Putra Jaya, hasil lelang Dishub. “Ini kali pertama dan bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Hasilnya lebih positif,” Devi menambahkan. Ia mengungkapkan keuntungan bagi pemda atas pelaksanaan lelang terbuka, yakni Pemerintah Kota menerima setoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) di awal. Selain itu, ia optimistis, ketertiban pengelolaan area parkir lebih terjaga. Tapi, Pemda mengizinkan pengelola zona menyetor retribusi parkir secara bulanan. CV Putra Jaya misalnya, mentransfer Rp 125 juta setiap bulan, untuk memenuhi kewajibannya yang mencapai Rp 1,5 miliar setahun. Pengelola zona 6, Yopi Agus Nopi, mengaku tidak memiliki uang sebesar itu untuk disetorkan sekaligus. Makanya, ia menilai, kebijakan pemda yang membolehkan pembayaran bulanan sangat meringankan pengelola. “Kami bayar dicicil. Nggak ada uangnya sebanyak itu,” ujarnya. Kini, Bapenda sedang mengevaluasi kinerja zona 6. Rencananya, lelang terbuka akan digelar kembali untuk menawarkan zona basah tersebut, Januari 2021 nanti. Yopi berharap CV Putra Jaya bisa mengelola lagi lahan parkir ini. “Dengan mekanisme pembayaran yang sama,” ujarnya. Berujung Gugatan ke Pengadilan SIDANG perdata kasus sengketa lelang retribusi parkir akan digelar kembali di Pengadilan Negeri Kota Bengkulu, Kamis, 7 Januari 2021 mendatang. Ini adalah jadwal kedua, setelah sidang pertama pada 10 Desember 2020 lalu tertunda. “Pihak tergugat tidak hadir. Jadi sidang ditunda hingga 7 Januari,” kata kuasa hukum CV Arsya Rajendra, Zainul Idwan, Senin, 21 Desember 2020. CV Arsya Rajendra adalah pengelola zona 2, area pelayanan retribusi parkir milik Pemerintah Kota Bengkulu. Perusahaan memenangi tender hak mengelola parkir di kawasan yang memanjang dari Simpang Padang Harapan sampai Simpang Lima. CV Arsya menawar Rp 346.650.000, dan membayarnya secara tunai di awal. Zona 2 semula terdiri dari 52 titik parkir. Mulai tahun ini, melar menjadi 66 titik. Tapi, Aliman mengaku tak mengetahui detail tersebut. “Kami tidak tahu ada berapa titik. Saat tender, yang ditawarkan kawasan Simpang Padang Harapan sampai Simpang Lima.” Usai lelang, persoalan baru mencuat. Ombudsman perwakilan Bengkulu menemukan adanya mal administrasi dalam pengelolaan lahan parkir di zona 2. Lembaga ini menerima pengaduan dari masyarakat atas pelayanan retribusi parkir oleh pemerintah kota. Sebanyak 5 unit usaha menolak penempatan juru parkir di sekitar tokonya. Mereka beralasan, sudah menyiapkan lahan parkir sendiri, bukan di tepi jalan. Para pemilik usaha tersebut melayangkan surat ke Ombudsman, menyampaikan keberatan atas penetapan juru parkir di lokasi usahanya. Para pengusaha itu ingin memberi servis khusus kepada konsumen agar mereka tidak dibebani parkir. “Kami coba pelajari regulasinya. Ternyata baik UU maupun perda memungkinkan untuk tidak menarik retribusi,” Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Bengkulu, Herdi Puryanto, menjelaskan beberapa waktu lalu. Sebagai ganti, pungutan berlaku dalam bentuk pajak parkir. CV Arsya pun merasa dirugikan atas temuan mal administrasi tersebut. Sebab, ia telah membayar lunas di awal kerjasama , setelah pemda menyatakan perusahaan memenangi lelang. Karena itu, komisaris perusahaan, Aliman Fitra Wahyudi, memutuskan untuk menggugat Pemerintah Kota Bengkulu ke pengadilan. Aliman kesal gara-gara juru parkir yang ia tempatkan di sejumlah titik, ditolak oleh pemilik unit toko. “Bahkan, ada juru parkir yang sampai diamankan petugas Kepolisian,” ujarnya, awal Desember 2020. Ia mengungkapkan telah beberapa kali menyampaikan hal ini kepada Pemerintah Kota Bengkulu. Perusahaan meminta solusi atas persoalan yang ada. Namun, hingga kini tak kunjung ada penyelesaian. “Kami merasa dirugikan. Makanya kami memutuskan untuk menggugat ke pengadilan, wan prestasi,” ia menjelaskan. Zainul Idwan mengatakan gugatan perdata telah masuk sejak pertengahan November lalu. Menurut dia, kliennya sebagai pemenang lelang yang berhak memungut retribusi parkir di zona 2 dirugikan, dengan adanya penolakan oleh 5 unit usaha. “Pemda Kota sudah mengingkari perjanjian kerjasama,” ujarnya. Ia menyebutkan, salah satu poin kerjasama adalah kewajiban pihak ke-1 (Pemerintah Kota Bengkulu) menyediakan lahan parkir untuk dikelola pihak ke-3. Perusahaan mengkalkulasi potensi hilangnya penerimaan atas tidak adanya pemungutan retribusi parkir di 5 unit usaha tersebut selama 7 bulan, sejak Mei lalu. Nilainya, diperkirakan berkisar Rp 200 juta. Ombudsman pun menyarankan Pemerintah Kota Bengkulu melakukan tindakan korektif. Herdi meyakinkan, pemerintah tidak rugi. Sebab, pemerintah telah menerima pembayaran retribusi secara tunai di muka sebesar Rp 346.650.000. “Dari sisi PAD, Pemda Kota tidak dirugikan. PAD tetap masuk dalam bentuk pajak parkir. Nah, untuk pihak ketiga, kami menyarankan perjanjian kerjasamanya diadendum.” Kepala Badan Pendapatan Daerah Kota Bengkulu, Hadianto, setuju. Ia mengaku tidak keberatan melakukan addendum sesuai dengan masukan dari Ombusman. (*) BETTY HERLINA  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: