HONDA

HighScope Indonesia, Asah Kemampuan Otak Anak Sejak Usia Emas

HighScope Indonesia, Asah Kemampuan Otak Anak Sejak Usia Emas

BENGKULU - HighScope adalah sebuah brand institusi pendidikan berasal dari Ypsilanti – Michigan, USA, yang didirikan oleh Dr. David Weikart pada tahun 1970. Saat ini HighScope terdapat di beberapa negara: Amerika - Indonesia - Irlandia - Meksiko - Belanda - Inggris - Portugal - Kanada - Cina - Chili - Peru - Afrika – Jepang – Thailand.

Diawali dari sebuah riset, di tahun 1962 Dr. Weikart melakukan Perry Preschool Project, penelitian mengenai Pendidikan Usia Dini dan menemukan bahwa program prasekolah memiliki hubungan erat dan signifikan dalam meningkatkan kesuksesan dan kontribusi seseorang terhadap keluarga dan masyarakat. Hasil penelitian ini juga diakui oleh Departemen Pendidikan Pemerintah Amerika Serikat. Mengapa Pendidikan Usia Dini yang berkualitas sangat diperlukan?

Sebanyak 90 persen dasar perkembangan otak anak terjadi sebelum umur 5 tahun, yang sering disebut sebagai Golden Years. Orang tua dan sekolah harus mengoptimalisasi perkembangan otak anak pada usia 0-5 sebagai pondasinya, termasuk di sini adalah dengan pembelajaran Bahasa asing yang lebih baik diberikan sebelum usia 10 tahun. Semakin dini orangtua memberikan pendidikan ke anak, maka hasilnya akan semakin baik. Pendidikan Usia Dini memiliki Return of Investment tertinggi dibandingkan dengan jenjang lainnya. Hasilnya tidak akan langsung terlihat secara instan, namun akan terlihat dalam jangka panjang.

Antarina S.F. Amir, pendiri HighScope Indonesia mulai mengenal HighScope ketika ia baru saja kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan Pendidikan S2 di Amerika Serikat. Saat di negeri Paman Sam, Antarina mendapatkan inspirasi dari sebuah puisi karya Harry Chapin yang dibacakan oleh salah satu profesornya berjudul Flowers are Red. Puisi ini mengisahkan seorang anak yang depresi karena harus menggambar bunga dengan warna merah dan daun dengan warna hijau, padahal sang anak melihat bahwa bunga memiliki berbagai warna.

Mungkin Anda sendiri akan berpikir, bukankah itu hal yang lazim? Pertanyaannya adalah, apakah warna bunga selalu merah? Apakah warna daun selalu hijau? Sama seperti kita diminta untuk menggambar pemandangan. Apa yang kita gambar? Dua gunung dengan matahari di tengah dan langit yang biru. Mengapa berbagai generasi bisa menggambar hal yang sama untuk ‘pemandangan’? Bukankah ada berbagai macam pemandangan, dengan warna yang berbeda dan beragam? Dimanakah salahnya?

Pendidikan seperti itu disebut cara Pendidikan yang directive, yang dapat mematikan kreativitas, motivasi, dan rasa ingin tahu anak. Dalam Pendidikan seperti itu, anak pun tidak diberikan kesempatan untuk belajar keterampilan yang sebenarnya dibutuhkan di masa depan, seperti keterampilan dalam mengambil keputusan, memecahkan masalah, berkolaborasi, berkomunikasi, dan lain sebagainya. Menurut penelitian 98 persen kreativitas itu dikembangkan pada masa kecil, dan 2 persen sisanya pada saat dewasa. Oleh karena itu anak harus diberikan ruang untuk menumbuhkan imajinasi dan kreativitasnya.

Oleh karena itu Antarina bertekad pada saat kembali ke tanah air, ia akan mengubah sistem pendidikan yang directive menjadi sistem pendidikan yang supportive, dengan guru sebagai mitra siswa dalam kegiatan ajar-mengajar, membantu memfasilitasi pembelajaran sehingga siswa mengerti pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dari pembelajaran. Peran guru bukan untuk menjadi bukanlah seseorang yang paling tahu di kelas dan memegang otoritas penuh. Guru harus melihat profil, kebutuhan dan minat anak dalam mendidik setiap siswa, sehingga mereka bisa memberikan pendidikan yang tepat secara personal kepada siswa yang masing-masing memiliki minat kebutuhan, dan kemampuan yang berbeda-beda.

Ketika sudah di tanah air, Antarina mendengar puisi Flowers are Red dibacakan di radio oleh seorang konsultan HighScope dari Amerika Serikat sebagai gambaran dari filosofi mereka. Sepakat dengan filosofi tersebut, Rina bertekad anaknya mesti sekolah di HighScope.

Pada tahun 1996, Antarina bersama dengan 3 temannya, akhirnya memutuskan untuk membangun program prasekolah HighScope di sebuah rumah tua di daerah Pondok Indah Jakarta, dengan hanya 8 anak yang mendaftar. Saat itu, banyak orangtua yang ingin mendaftarkan anaknya bertanya 2 pertanyaan favorit: Apakah anak diajarkan baca tulis dan pertanyaan kedua adalah apakah ada kolam renang. Rumah prasekolah HighScope saat itu tidak memiliki kolam renang, namun dengan penjelasan mengenai filosofi HighScope dan melihat bukti dari performa anak-anak yang bersekolah di situ, dalam waktu 6 bulan kemudian jumlah siswa sudah mencapai 100 orang dan terus berkembang sampai saat ini.

Pada tahun 1998, HighScope Indonesia mulai membuka unit sekolah di lokasi lain, dan sampai saat ini sudah ada 11 unit sekolah HighScope Indonesia dengan 4 program: Early Childhood – Elementary – Middle School – High School, yang tersebar di lokasi Jakarta, Tangerang, Bogor, Bali, Medan, Bandung, dan Palembang. Lalu, pada tahun ajaran 2021/2022, HighScope Indonesia akan membuka 2 unit baru, di Bekasi dan Bengkulu.

HighScope Bengkulu

Antarina menyatakan kebanggaan dan perasaan bahagia kepada Yosia Yodan dan keluarga, yang telah memilih untuk membuka Sekolah HighScope Indonesia di Bengkulu. “Terima kasih pak Yosia dan keluarga yang mendirikan Sekolah HighScope Indonesia untuk masyarakat Bengkulu sehingga HighScope bisa memberi warna sistem pendidikan di Bengkulu. Mudah-mudahan bisa memberikan dampak yang positif untuk membuka wawasan mengenai sistem sekolah dengan metode yang progresif,” ungkapnya.

Sebagai pendiri dan CEO HighScope Indonesia, Antarina sangat senang bekerja sama dengan Yosia, yang sangat santun, antusias dan memiliki minat yang besar terhadap dunia pendidikan. Alasan Yosia dan keluarga memilih Sekolah HighScope Indonesia adalah keinginan untuk membuka sekolah yang memiliki program dari prasekolah sampai SMA dengan kualitas terbaik, yang memiliki karakter kuat, dan bertaraf internasional.

Akhirnya pilihan jatuh ke HighScope Indonesia setelah Yosia melakukan beberapa kali kunjungan ke HighScope Indonesia Institute dan mendengarkan penjelasan dari Antarina dan tim HighScope Indonesia. Antarina sendiri mengakui bahwa ia sangat terkesan dengan sikap Yosia yang rendah hati, sopan dan menunjukkan niat yang teguh serta gigih dalam proses mendirikan Sekolah HighScope di Bengkulu.

Walaupun di tengah pandemi Covid-19, pada saat seluruh sekolah menjalankan belajar dari rumah, Yosia percaya bahwa sistem pendidikan HighScope Indoensia tetap harus dibuka berjalan di Bengkulu untuk tahun ajaran 2021/2022 ini. (desti/prw)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: