Tempo Enam Bulan, 10 Anak jadi Korban Kekerasan Seksual
MUKOMUKO –10 anak menjadi korban kekerasan seksual. Itu terjadi hanya dalam tempo 6 bulan, terhitung Januari 2021 hingga Juni 2021. Padahal selama kondisi pandemi Covid-19 ini, banyak aktivitas anak tidak dihabiskan di sekolah. Lantaran kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Pelaku kekerasan seksual itu, yang lebih memprihatinkan lagi, bukan saja sesama anak di bawah umur. Tapi juga laki-laki dewasa. Yang mereka ini sebagian besar, bukanlah orang lain bagi korban. Melainkan masih orang terdekat, baik itu secara hubungan keluargaan maupun lingkungan.
Ini diungkap Pekerja Sosial (Peksos) Pendampingan Anak Mukomuko Kementerian Sosial, Weri Tri Kusumaria, SH, MH. Disebut Weri, 6 bulan terakhir, ada 18 anak dibawah umur, yang harus terlibat dengan proses hukum penanganan kasus kekerasan seksual.
“Dari jumlah itu, 10 orang diantaranya berstatus sebagai korban, lalu 5 orang sebagai saksi dan 3 orang lagi sebagai pelaku kekerasan seksual,” ujar Weri.
Jumlah itu, sedikit lagi menyamai jumlah anak yang terlibat dalam proses hukum kasus kekerasan seksual, sepanjang tahun 2020. Termasuk jumlah anak yang berstatus sebagai korban. Dimana jumlahnya ditahun 2020, mencapai 21 orang anak dibawah umur.
Terdiri 11 orang anak sebagai korban, lalu 5 orang lagi sebagai pelaku dan 5 orang lainnya dilibatkan sebagai saksi. Padahal ditahun 2019, hanya sebanyak 13 orang anak. Yang saat itu, anak sebagai korban kekerasan seksual, hanya 7 orang. Namun jumlah pelaku sampai 6 orang anak.
“Usia anak yang dihitung terlibat kekerasan anak ini, mulai dari usia 4 tahun hingga 17 tahun. Tapi untuk pelaku, mayoritas memang anak yang sudah berusia belasan tahun,” jelas Weri.
Menurutnya, khusus anak sebagai pelaku, ada beberapa faktor utama yang diduga menjadi pemicu anak melakukan kekerasan seksual. Diantaranya, faktor orang tua yang bercerai, lalu dipengaruhi kemajuan teknologi terutama smartphone yang salah pemanfaatan, karena minim pengawasan orangtua.
“Kami lihat dari kronologis peristiwa-peristiwa kekerasan seksual, pengaruh broken home dan gadget, memicu anak melakukan kekerasan seksual kepada korbannya,” terang Weri.
Mengenai kenaikan angka anak terlibat kekerasan seksual terkait dengan masa pandemi Covid-19. Lantaran dimasa pandemi, anak lebih bebas dan sering menggunakan smartphone, karena menjadi peralatan utama belajar Daring, Weri mengaku belum melakukan kajian hingga sejauh itu.
“Yang jelas, pengaruh smartphone yang negatif itu ada. Contoh di salah satu kasus, pelaku sebelum melakukan kekerasan seksual itu karena ia nonton film porno. Korban dan juga beberapa saksi mulanya diajak nonton bersama,” pungkasnya.(hue)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: