Harga PCR Maksimal Rp 550 Ribu, Jokowi Juga Minta Hasil Keluar 1×24 Jam
JAKARTA - Perbandingan harga tes (Polymerase Chain Reaction) PCR di Indonesia dengan di India ibarat bumi dan bulan. Di Indonesia sekitar Rp 900 ribu. Sementara di India sekitar Rp 100 ribu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung meresponnya dengan meminta harga PCR diturunkan menjadi Rp 450 ribu hingga Rp 550 ribu.
Permintaan Jokowi itu disampaikan secara langsung kemarin. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan testing Covid-19 di Indonesia. Dia menegaskan salah satu cara untuk memperbanyak testing adalah dengan menurunkan harga tes PCR. ’’Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini,’’ katanya.
Dalam komunikasi tersebut Jokowi meminta supaya biaa tes PCR berada di kisaran Rp 450 ribu sampai Rp 550 ribu. Tidak hanya itu, Jokowi juga meminta supaya hasil tes PCR bisa diketahui hasilnya dalam waktu maksimal 1x24 jam. ’’Kita butuh kecepatan,’’ tandasnya.
Di Indonesia sampai saat ini harga tes PCR masih bervariasi. Misalnya di RS Bina Sehat Mandiri, Kebon Jeruk, Jakarta dipatok Rp 790 ribu dan hasilnya diketahui H+1 pengambilan sampel. Sementara itu Laboratorium Klinik Westerindo Pusat Jakarta memasang tarif Rp 800 ribu untuk layanan home service. Tarif ini ditambah biaya Rp 250 ribu untuk kunjungan petugas ke satu lokasi. Hasilnya juga diketahui dalam waktu sehari setelah pengambilan sampel.
Sementara itu di luar Jakarta, ada yang memasang harga PCR hingga Rp 1,2 juta/orang. Seperti yang dilakukan oleh RS Lancang Kuning, Kota Pekanbaru, Riau. Begitupun di RS Dera As-Syifa, Kab. Brebes, Jawa Tengah biaya tes PCR dipatok Rp 1,2 juta. Hasil tes PCR di RS Dera As-Syifa dapat diketahui tiga hari setelah pengambilan sampel. Harga tarif PCR itu bisa mudah dicek masyarakat di aplikasi SehatQ.
Guru Besar FKUI Tjandra Yoga Aditama mengatakan dengan harga PCR yang lebih murah, maka akan lebih memudahkan orang yang memerlukannya. ’’Hanya saja PCR untuk kegiatan penelusuran kontak di lapangan, maka tentunya akan gratis,’’ jelasnya. Jadi dia menekan tes PCR yang dilakukan untuk tracing atau penelusuran kasus tetap harus gratis karena dijamin pemerintah.
Tjandra lantas menceritakan pengalamannya PCR di India. Pada September 2020 lalu dia melakukan PCR di New Delhi seharga 2.400 rupee atau sekitar Rp 480 ribu. ’’Waktu itu tarif PCR di negara kita masih sekitar lebih dari Rp 1 juta,’’ jelasnya.
Kemudian pada November 2020 pemerintah kota New Delhi menetapkan biaya PCR lebih rendah lagi di harga 1.200 rupee atau sekitar Rp 240 ribu. Kemudian tarif PCR di India lebih murah lagi menjadi 800 rupee atau sekitar Rp 160 ribu saja untuk pemeriksaan di laboratorium dan RS swasta.
’’Pada awal Agustus 2021 ini, pemerintah kota New Delhi menurunkan lagi patokan tarifnya menjadi 500 rupee atau Rp 100 ribu saja,’’ jleasnya. Sementara untuk pemeriksaan di rumah klien ditetapkan 700 rupee atau sekitar Rp 140 ribu. Sedangkan untuk pemeriksaan swab antigen di India saat ini ditetapkan 300 rupee atau sekitar Rp 60 ribu.
Dia mengatakan tentu perlu analisa mendalam kenapa biaya tarif PCR di India lebih murah dibandingkan dengan di India. Ada sejawatnya di India yang mengatakan, kemungkinan ada subsidi dari pemerintah setempat. Faktor lain bisa karena adanya keringanan pajak, murahnya bahan baku untuk industri, ketersediaan tenaga kerja di India yang besar, serta faktor-faktor lainnya.
Senada, Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh juga mengapresiasi langkah pemerintah dalam upaya menurunkan harga test PCR. Meski, hal ini sebetulnya agak terlambat. Mengingat, pemerintah juga telah menetapkan aturan wajib PCR untuk sejumlah kegiatan.
”Tapi PCR-nya mahal. Tidak lagi Covid-19 pun gak semua bisa menjangkau,” keluhnya.
Karenanya, dia menekankan, bahwa seyogyanya, aturan yang dibuat harus selaras dengan kondisi masyarakat yang ada. Jika tidak, yang ada aturan malah akan berportensi dilanggar. ”Kalau masyarakat gak mampu ya sama saja gak bisa dilaksanakan. Malah dilanggar,” tuturnya.
Selain itu, lanjut dia, dengan turunnya harga PCR ini bisa diikuti dengan penurunan harga testing lainnya. Seperti test antigen. Dengan begitu, bisa semakin mudah dijangkau masyarakat.
Terpisah, Anggota Komisi IX Saleh Daulay mengungkapkan, instruksi ini menunjukkan bahwa presiden mendengar inspirasi rakyat. Kendati begitu, ia berharap, ini bukan sekadar respon reaktif yang ditunjukkan presiden atas masukan yang masuk. “Semoga bukan respon sesaat,” ujarnya.
Pasalnya, harga test PCR yang disebutkan oleh presiden masih kisaran. belum ada angka pasti. Artinya, belum ada perhitungan detil yang dilakukan oleh pemerintah terkait ketetapan harga baru PCR.
”Kemenkes harus segera menghitung secara pasti,” ungkap Politisi PAN tersebut.
Menurutnya, perhitungan ini perlu dilakukan agar nantinya tak ada pihak yang rugi. MIsalnya, dari sisi produsen. Bila harga terlalu rendah, bisa-bisa produsen malah tak mau produksi. Namun, jika angka yang dipatok terlalu mahal negara dan masyarakat yang akan keteteran. Negara harus menanggung biaya besar untuk tracing. Kemudian, masyarakat pun enggan melakukan testing mandiri karena harga yang melambung tinggi.
Padahal, testing mandiri ini sangat diharapkan bisa terjadi di lapangan.”Dengan begitu jadi cepat tahu “posisi” virusnya. Kalau terdeteksi, ya dibatasi geraknya,” paparnya.
Di sisi lain, Saleh turut menyoroti mengenai pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4. Dia menilai, penerapan PPKM level 4 sudah berhasil. Walaupun tidak maksimal. “Faktanya keterisian rumah sakit menurun, kasus aktif pun demikian. Namun belum maksimal,” tuturnya.
Sebab, ketika wilayah PPKM menunjukkan kemajuan, di daerah lain justru kedodoran. Sejumlah daerah luar Jawa Bali dilaporkan tengan mengalami kenaikan kasus. Padahal, menurut dia, ketika wilayah darurat dikunci maka daerah lain harusnya bisa kian menurun.
Lalu, perlukan PPKM diperpanjang? Saleh tak menjawab secara gamblang. Dia hanya mengungkapkan, bahwa kalau pun diperpanjang tak perlu ganti nama lagi. Cukup ubah levelisasi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Apabila kondisi pandemi di daerah tersebut sudah turun, maka level bisa diturunkan. Sebaliknya, bagi daerah luar Jawa Bali yang saat ini sedang memerah, maka harus diikutsertakan dalam PPKM level 4 ini.
Mengenai anggapan masyarakat soal PPKM yang suka “dicicil”, menurutnya itu bisa jadi strategi pemerintah. Sebab, bila langsung diputuskan PPKM selama berbulan-bulan maka rakyat akan stress. Sementara, ketika diputuskan dalam beberapa minggu maka masyarakat pun akan bersemangat untuk patuh agar kondisi kasus cepat menurun.
Sementara itu hingga tadi malam pemerintah belum mengumumkan nasib PPKM level 4 apakah akan diperpanjang atau tidak. Seperti diketahui sebelumnya pemerintah memperpanjang pemberlakuan PPKM level 4 disejumlah daerah dari 10 Agustus hingga 16 Agustus.
Dalam perpanjangan itu ada sejumlah pelonggaran yang ditetapkan pemerintah. Seperti diperbolehkannya kembali mal untuk beroperasi di kota-kota besar. Seperti di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dengan semakin menurunnya kasus baru Covid-19 di Indonesia, ada kemungkinan kebijakan pelonggaran kembali di lokasi PPKM level 4. Kemarin kasus positif baru di Indonesia tercatat ada 20.813 kasus. Kemudian angka kesembuhan berjumlah 30.361 kasus. Lalu jumlah kasus kematian baru ada 1.222 kasus.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah pun berpandangan bahwa standar yang ditetapkan Kemenkes melalui surat edaran bernomor HK.02.02/I/3713/2020 terlampau tinggi. Karena itu, dia tidak heran bila belakangan banyak masyarakat membanding-bandingkan tarif PCR test di Indonesia dengan di India. Sebab, angka yang dipatok Kemenkes lewat surat edaran tersebut sepuluh kali lipat lebih tinggi dari tarif PCR test di India.
Menurut Wana, surat edaran tersebut harus segera diubah. ”Kemenkes segera merevisi Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR,” ungkapnya kemarin. Apalagi, setelah presiden memerintahkan kepada menkes untuk menekan tarif PCR test. Pihaknya juga memberi catatan atas perintah itu. ”Menurut kami poinnya bukan tentang berapa harga tarif, melainkan adalah transparansi dalam penetapan komponen tarif pemeriksaan PCR,” ujar dia.
Wana menyatakan bahwa baseline pembentuk tarif yang telah disampaikan oleh presiden perlu dilihat lebih jauh. ”Seperti pembelian reagen, keuntungan yang berhak diperoleh penyedia jasa,perlengkapan medis lainnya, dan sebagainya,” beber dia. Tentu, lanjut dia, penyedia jasa harus untung. Namun demikian, jangan pula berlebihan. Lebih dari itu, ICE menilai bahwa masyarakat berhak tahu komponen pembentuk tarif PCR yang selama ini harus mereka bayarkan.
Untuk itu, ICW juga meminta supaya pemerintah lebih transparan ketika mengumumkan tarif PCR test. ”Hingga hari ini, kita tidak pernah tahu kenapa harga PCR (sebelum presiden minta tarifnya diturunkan) bisa sampai Rp 900 ribu,” jelasnya. Itu tidak akan terjadi bila pemerintah lebih transparan membuka komponen pembentuk tarif PCR. ”Dari perhitungan tersebutlah kita dapat mengetahui wajar tidaknya tarif yang ditetapkan oleh pemerintah,” tambah Wana.
ICW, lanjut dia, sempat menelusuri besaran harga reagen PCR yang pernah dibeli pemerintah dan banyak digunakan penyedia jasa PCR test di Indonesia. Rata-rata, harganya Rp 180 ribu - Rp 375 ribu. Artinya, harga tes PCR seharusnya tidak terlalu jauh dari harga bahan baku tersebut,” jelasnya. ICW berpandangan, harganya bisa semakin terjangkau bila pemerintah memberikan subsidi untuk PCR test yang dilakukan secara mandiri.
Mereka menilai, semakin terjangkau tarif PCR test, efeknya tidak hanya baik bagi masyarakat. Melainkan juga akan menguntungkan pemerintah. Sebab, masyarakat yang semula enggan memeriksakan diri karena tarif PCR test yang masih tinggi, tidak akan terlalu berat mengeluarkan uang untuk PCR test. ”Mahalnya tarif pemeriksaan PCR di Indonesia tentu berdampak pada upaya pemerintah dalam memutus rantai penularan Covid-19,” bebernya. (wan/mia/syn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: