Tubi Burek
Itu pasti bukan nama sebenarnya: ‘Tubi’ mungkin saja penggalan dari Kastubi. Atau Kurtubi. Matubi? Atau Mastubi? Burek’ kemungkinan besar punya asbabun nuzul tersendiri. Itu, awalnya, bisa jadi nama bully.
Dari teman-teman kecilnya. Mungkin juga karena Tubi jarang mandi.
Atau karena kulitnya tidak jelas. Bisa juga karena kegantengannya yang samar-samar. Burek —e’ nya dieja seperti membaca ‘gudeg’ —artinya samar-samar, tidak jelas, tidak terang, atau Anda sudah tahu.
Lalu Burek itu menjadi nama panggilan sehari-hari. Jadi nama kebanggaan.
Awalnya berupa ejekan, akhirnya jadi nama komersial di YouTube. Tuby Burex. Sudah empat tahun Tubi tidak bisa kencing. Gagal ginjal. Umurnya baru 29 tahun. Fisiknya masih tampak bagus.
Apalagi suara nyanyinya. Saya pun ke rumahnya hari Minggu (24/10) siang lalu: di lingkungan kebun teh di lereng Gunung Arjuno. Masih harus naik lagi lima kilometer dari Hotel Niagara Lawang.
Sebenarnya Tubi bukan tidak bisa kencing. Ia takut kencing. Takut. “Sakitnya luar biasa,” katanya. Pun bila bisa yang keluar hanya satu tetes. “Pernah anyang-anyangen? Sakitnya lima kali lipat dari itu,” tambahnya.
Saya lihat bagian perutnya: tidak ada selang. Berarti tidak ada jalan darurat bagi urine untuk keluar. Tapi, saya lihat, tubuhnya juga tidak bengkak. Lalu, ke mana larinya sisa air yang ia minum sehari-hari?
Jelas, air itu tidak menjadi keringat. Ia kan tidak berolahraga. Air minum itu juga tidak jadi air mata. Ia orang yang tabah. Jarang menangis.
Selama satu jam di rumahnya saya hanya melihat sekali ia berlinang. Yakni saat tidak bisa menyelesaikan lagu yang dinyanyikannya: Rindu Tak Sampai. Ia ingat istrinya.
Yang meninggalkannya setelah dua kali menjalani cuci darah. Atau ingat anak tunggalnya. Yang masih berumur 9 tahun. Yang ikut sang mantan istri.
Sejak jatuh sakit Tubi mendengar sesuatu mengenai sang istri. Tubi memutuskan: untuk mengantarkan sang istri ke orang tuanyi.
Rumah sang mertua tidak sampai 2 Km dari rumahnya. Tubi bukan bermaksud seperti lagu Betharia Sonatha: mengembalikannyi ke orang tuanyi. Tubi hanya ingin mertuanyalah yang akan menasihati sang istri.
Pekerjaan Tubi: pengamen jalanan. Itu ia lakukan sejak tamat SD di desa itu. Awalnya hanya ikut-ikutan. Akhirnya jadi mata pencahariannya. Juga jadi sumber pembiayaan untuk membeli minuman oplosan.
Ibunya bekerja sebagai pemetik daun teh. Ayahnya juga. Sampai sang ayah memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara menggantungkan diri di sebuah pohon pinggir kebun teh.
“Hati suami saya sangat kecil,” komentar sang ibu tentang jalan akhir hidup suaminyi.
Waktu itu sang ayah mendengar Tubi mengalami gagal ginjal. Ia juga mendengar tentang menantunya. Ia memang masih punya anak satu lagi.
Laki-laki. Kakak Tubi. Baik hati. Pagi itu sang kakak naik sepeda motor, menjemput Tubi —untuk antar cuci darah. Ia menanjaki jalan sempit menuju rumah Tubi: sepeda motornya bersenggolan dengan motor dari arah atas.
Sang kakak meninggal dunia. Seketi.
Maksud saya: seketika. Rumah yang ditempati Tubi dan ibunya itu sangatlah sederhana. Itu dibangun semasa ayah Tubi masih hidup.
Belum selesai. Belum ada plafonnya —mungkin menunggu Tubi sembuh. Atau menunggu lagu Rindu Tak Sampai itu ditonton 200.000 orang —termasuk dari seluruh pembaca Disway.
Sebenarnya ada secuil tanah di depan rumah itu. Yang bisa saja ditanami 10 batang kaliandra hijau. Begitu banyak tanaman jenis itu di pekarangan tetangga-tetangganya.
Cepat sekali tumbuhnya. Subur sekali daunnya. Bisa dijual untuk makanan kambing. Banyak yang memelihara kambing ottawa di desa itu.
Saya lihat ada satu rumah yang lebih beruntung dari rumah Tubi. Hanya sepelemparan batu jaraknya. Rumah itu lebih mentereng —untuk ukuran desa pinggiran kebun teh.
Rumah itu punya penghasilan tetap dari pohon di halamannya: pohon teh yang tingginya lebih menjulang dari atap rumah.
Saya kaget. Saya kira pohon teh itu ya seperti yang kita lihat: pendek-pendek. Maafkan Anak Alay, ternyata pohon teh itu, kalau dibiarkan, bisa seperti pohon pada umumnya. Tinggi-besar. “Dijual. Benalu teh,” bunyi tulisan di papan yang menempel di pohon itu.
Saya pun mendongak. Ups…banyak benalu tumbuh di rerantingan pohon teh besar itu. Daun benalu teh itu laku: saya tidak tahu. Bisa untuk obat: saya tidak tahu.
Semua teman yang ikut ke rumah Tubi ternyata tahu mengenai khasiat daun benalu teh.
Pada saatnya saya akan bertanya ke Prof Dr Mangestuti Agil, peneliti herbal di Unair: benarkah daun benalu teh bisa untuk menyembuhkan banyak penyakit.
Saya memang selalu mem-forward postingan di medsos mengenai khasiat yang dibilang hebat dari satu tumbuhan, umbian atau buah.
Tubi juga pernah mencoba minum benalu daun kelor itu. “Mungkin terlalu banyak. Justru nyesek,” katanya. Begitulah kalau air terlalu banyak di tubuh Tubi. Ginjal tidak bisa memprosesnya jadi air kencing.
Paru-parunya ikut dipenuhi air. Dan lagi Tubi kan takut kencing.
Tubi sebenarnya pernah mencoba pekerjaan lain: kuli bangunan. Pindah-pindah. Selama tiga tahun. Juga pernah mencari rumput. Untuk dijual ke peternak kambing. Tapi hatinya sudah sepenuhnya pindah musik. Pekerjaannya sebagai pengamen membuatnya kenal musik. Ia diajari sesama pengamen memegang gitar.
Perannya pun naik: dari hanya tepuk-tepuk tangan di pinggir jalan ke jreng-jreng pegang gitar. Lalu jadi vokalis. Ternyata ia suka sekali menyanyi.
Lalu menciptakan lagu. Di antara banyak sekali ciptaannya, Rindu Tak Sampai itulah yang dianggapnya bernilai 10. Yang di setiap menyanyikannya mendorong linangan air matanya.
“Sebenarnya dia ingin kembali ke saya. Tapi ayahnyi melarangnyi,” ujar Tubi. Sampai pun Tubi menantingnyi: pilih ia atau pilih ayahnyi.
“Kalau pilihannya itu saya pilih mati,” ujar sang istri seperti ditirukan Tubi. Baca Selanjutnya>>>
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: