HONDA

Marah Penugasan

Marah Penugasan

  JANGAN berlindung di balik penugasan pemerintah. Itulah inti lain dari Presiden Jokowi. Di Istana Presiden. Tanggal 16 November lalu. Yang video 28 menitnya beredar di medsos. Anda sudah tahu: semua presiden punya keinginan. Pun yang bukan presiden. Cara seorang presiden mewujudkan keinginannya bisa lewat tiga jalan: menganggarkannya di APBN/APBD, memberikan penugasan kepada BUMN, dan menggerakkan partisipasi rakyat –pengusaha ada di dalamnya. Anda pun tahu: APBN itu terbatas –biarpun sudah ditambal utang. Penganggaran proyek di APBN juga harus lewat proses politik. Yang rumit dan panjang. Tidak semua keinginan presiden bisa terakomodasi di APBN. Menggunakan jalan kedua, lewat penugasan BUMN, jauh lebih sederhana: memutuskan rapat umum pemegang saham (RUPS). Kalau mendesak, bisa diputuskan di RUPSLB (luar biasa). Maka, BUMN yang mendapat penugasan itu harus mengerjakannya. Sekilas terlihat, Presiden Jokowi lebih banyak memberikan penugasan ke BUMN jika dibandingkan dengan pendahulu-pendahulunya. Pertamina mendapat beberapa penugasan. Termasuk membuat harga BBM sama di seluruh Indonesia. Di sini Pertamina pasti rugi ongkos kirim BBM. Apalagi kalau kirimnya ke Papua nun di timur. Atau ke Aceh nun di barat. Tentu rakyat di daerah-daerah terpencil sangat senang. Harga BBM menjadi terasa murah di sana. Pemerintahlah yang ingin membeli ongkos kirim itu. Setiap tahun Pertamina membuat perhitungan ongkos kirim itu. Lalu, ditagihkan ke Kementerian Keuangan. Pertamina juga mendapat penugasan untuk membangun proyek petrokimia raksasa di Tuban, Jatim. Saya tidak tahu lewat keppres atau hanya lewat pengarahan. Pemerintah berkepentingan untuk mengurangi impor di bidang itu. Pemerintah juga ingin Indonesia kian mandiri. Secara hitungan bisnis, Pertamina belum mampu melakukannya. Investasinya terlalu besar. Kalaupun bisa cari pinjaman, ”ruang untuk meminjam” tidak cukup. Kalau harus berpartner, Pertamina kehilangan kesempatan bisnis. Direksi dan komisaris Pertamina memang harus menjalankan dua misi sekaligus: misi perusahaan (harus laba, tidak boleh rugi) dan misi dari pemerintah. Maka, sebaiknya Pertamina harus terus terang kepada pemerintah. Terutama kepada presiden: mampu atau tidak – dari segi kemampuan perusahaan. Dengan demikian, presiden punya apa yang harus dilakukan. Tidak seperti digantung oleh PHP. Anggaplah Pertamina mengatakan: tidak mampu, pemerintah yang akan membayangkannya. Termasuk, kalau perlu, mengundang investor asing. Tinggal pemerintah mempertimbangkan risiko politiknya. Atau, pemerintah tetap menugaskan Pertamina. Dengan berbagai bantuan. Mulai penjaminan pemerintah sampai subsidi bunga kredit. Tentu pemerintah punya misi yang lebih besar dari perusahaan. Di mata pemerintah, Pertamina memang akan rugi di satu sisi, tapi negara akan untung di banyak bidang. Maka, yang diperlukan adalah keterusterangan itu: mampu atau tidak. Kalau tidak, apakah masih bisa dibuat mampu. Pertamina minta apa saja. Lalu, pemerintah yang akan menilai apakah permintaan itu bisa ditawar. Di pihak lain, PLN akan kebebanan penugasan yang lebih berat: harus pindah ke listrik hijau. Yang biaya produksinya lebih mahal. Sedangkan tarif listriknya tidak boleh naik. Pun PLN, juga harus berterus terang. PLN harus siap melaksanakan, tapi juga harus menyampaikan akibat apa saja yang akan dialami PLN. Dengan demikian, mulai sekarang, sudah bisa konsekuensi keuangannya. Agar tidak ada balon pecah yang tiba-tiba. Tentu bukan hanya PLN dan Pertamina. Pemerintah juga memberikan banyak penugasan di proyek jalan tol. Kepada BUMN Infrastruktur. Yang penting dan komisarisnya tidak diundang ke istana hari itu. sebagian isi marah Presiden Jokowi itu ditujukan kepada yang tidak diundang itu. Toh, mereka juga bisa menyaksikan di video yang beredar luas. “Jangan berlindung di balik penugasan,” ujar presiden. Dari mana presiden tahu bahwa ada BUMN yang berlindung di balik penugasan? Saya melihat ada satu kalimat presiden yang bisa mendekatkan ke arah sana: “Setelah akan dimonetisasi ternyata kemahalan”. Saya memastikannya begini: ada BUMN yang mengembangkan proyek itu harus dijalankan. Harus jadi sesuai jadwal. Berapa pun biayanya. Maka, biaya proyek membengkak. Ketika BUMN itu mengalami kesulitan keuangan, salah satu jalan keluarnya: jalan tol yang jadi itu harus dijual. Hasilnya bisa untuk penugasan penugasan jalan tol yang baru. Ternyata jualan itu sulit laku. Peminatnya ada, tapi harganya tidak cocok. Dianggap terlalu mahal. Para calon pembeli itu memang bisa berhitung: berapa seharusnya harga jual itu. Tentu harga jual yang ditawarkan adalah: biaya proyek ditambah laba. Harga yang dianggap terlalu mahal. Pun sebelum ditambah laba. Ternyata presiden tahu: mentang-mentang ini penugasan pemerintah, lantas biaya proyeknya dibuat mahal. Bahkan, presiden pun mencurigai sampai ke sistem pengadaannya. Kalau saja tidak ada Covid, mencari uang kredit lebih mudah. Pun mencari investor. Tapi, Covid membuat BUMN harus menjual jalan tol. Lalu ketahuan: kemahalan. Covid-lah yang ternyata membuka tabir itu. Ibarat bola yang melambung tinggi, president lantas men-smash-nya . (Dahlan Iskan) Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: