HONDA

Ulang Pantun

Ulang Pantun

 

DISWAY setahun terakhir diwarnai oleh pantun. Anda sudah tahu: pemicunya pembaca kita yang bernama Thamrin Dahlan. Awalnya bertepuk sebelah tangan: tidak ada yang menghiraukan. Mungkin karena pantunnya sarat dengan nasihat.

Pak Thamrin tidak putus asa. Ia terus saja berpantun. Sampai kemudian ada yang ”menegur”: mana pantunnya. Rupanya hari itu Pak Thamrin berkomentar tanpa pantun. Berarti pantun Pak Thamrin sebenarnya tidak diabaikan. Sampai pada suatu saat muncul Aryo Mbediun: sekali muncul, muncul sekali --sangat muncul.

Mulailah terjadi variasi: muncul pantun jenaka, pantun pasemon, pantun rayuan, pantun cinta, dan pantun plesetan. Tentu saya juga sering berpantun: kalau lagi pidato di Riau dan Riau Kepulauan.

Di sana hidup penuh dengan pantun. Ibarat ikan dan air, pantun adalah air bagi manusia Melayu. Dan Riau adalah pusat Melayunya Indonesia. Pada zaman kejayaan Melayu, Singapura itu adalah salah satu kabupaten kerajaan Riau.

Demikian juga Johor, Negeri Sembilan, Melaka, pun sampai ke Selangor. Untuk budaya Melayu ini saya selalu berkibar ke satu nama: Rida K. Liamsi. Ia sastrawan Melayu yang istimewa di mata saya. Waktu saya angkat menjadi direktur utama Riau Pos pun hidupnya terus diabdikan untuk budaya Melayu.

Pun setelah ia berhasil mengembangkan banyak perusahaan di bawah grup Riau Pos: perusahaan terus berkembang, sastra Melayu terus melaju. Saya pun minta Pak Rida untuk memberikan pandangan soal pantun yang tiba-tiba mewabah di kolom komentar Disway.

Ia sekarang tinggal di Tanjungpinang - -pernah jadi ibu kota kerajaan Melayu. Ia membaca Disway tiap hari. Ini komentarnya:

Ada sebuah ungkapan yang sangat dikenal di dunia Melayu: ”Kalau tak pandai berpantun, jangan mengaku orang Melayu”. Adagium ini menunjukkan bagaimana pantun telah memegang peran penting dalam kehidupan sehari hari masyarakat Melayu. Bagi mereka, jika hendak dipandang sebagai orang yang berilmu dan berpengaruh, harus tahu bagaimana menafsir pantun. Juga harus tahu bagaimana cara membalas pantun. Pun bagaimana cara mengemas pantun. Itu juga penting bagi yang ”hendak berada di tengah balai (tempat terhormat)”.

Pantun itu harus dipelajari. Cara berpantun dan cara menyampaikan pantun, akan menunjukkan kadar dan kelas dalam kehidupan bermasyarakat.

Artinya, berpantun itu tidak boleh sembarangan. Ada aturan, dan kaedahnya, terutama pada sampirannya. Dari pantun diketahui berilmu tidaknya yang berpantun. Jika tidak, dia akan ditertawakan orang.

Lihatlah pantun ini:

”Pucuk pauh delima batu Anak sembilang di tapak tangan Biar jauh beribu batu Hilang di mata di hati jangan“

Ini pantun lama yang sangat dikenal di dunia Melayu. Bukan saja karena isinya yang menunjukkan bagaimana perasaan rindu itu tak kenal batas dan waktu. Tapi juga lihatlah sampirannya. Yang sarat makna.

Ikan sembilang itu punya sengat yang berbisa, tapi kenapa boleh diletakkan di telapak tangan? Ternyata pucuk pauh dan delima batu itu adalah penawar racun. Itu contoh sampiran pantun yang sangat berkualitas dan sampiran (pembayang) yang menunjukkan pencipta pantun itu berilmu.

Karya sastra yang demikian itu, menempatkan pantun sebagai salah satu karya sastra lisan dunia melayu paling tua. Lebih tua dari syair dan genre sastra lama. Sejak lahir orang Melayu sudah diajar berpantun. Baca Selanjutnya>>>

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: