ISRA MI’RAJ SANG NABI: SEBUAH REFLEKSI
MAFHUM diketahui bahwa Rajab adalah bulan mulia yang ditandai dengan peristiwa luar biasa sepanjang sejarah kehidupan manusia, peristiwa yang terjadi hanya satu kali, berlaku bagi Muhammad sang Nabi, dan tidak pernah terulang lagi hingga kiamat nanti.
Isra Mi’raj adalah hiburan (tasliyah) yang Allah siapkan kepada Nabi Muhammad setelah mengalami masa-masa sulit dalam dakwah dan penuh kesedihan (am al-Hazn).
Kesedihan dirasakan setelah pamannya Abu Thalib yang sangat care dan support kepada perjuangan, benteng terhadap serangan tokoh musyrik Quraisy, meninggal dunia tanpa mendapatkan hidayah.
Bertambah kesedihan dengan wafatnya istri tercinta Khadijah, penyedia logistik dan akomodasi gerakan dakwah. Maka, untuk menjadi stimulan kemantapan iman, dan membesarkan hati sang Nabi, isra mi’raj inipun terjadi.
Peristiwa pada tahun 10 kenabian ini diabadikan dalam QS. al-Isra/17:1: “Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Oleh karena itu, isra mi’raj memang tidak bisa didekati dengan logika hingga sains semata, melainkan melalui pendekatan iman. Ada beberapa hikmah sebagai refleksi bagi kita yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan hari ini.
Pertama, mendengar dan taat (al-Sam’u wa al-Tho’ah). Dalam menjalani kehidupan sebagai hamba Allah (vertikal transendental) dan masyarakat/rakyat (sosial horizontal), kita dihadapkan berbagai regulasi, yang diproduk untuk kemaslahatan.
Dalam kehidupan beragama ada syariat (baca; Quran dan Hadis), begitu pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat Undang-undang, peraturan, edaran dan sebagainya. Dalam isra mi’raj ini, nabi Muhammad mendapatkan perintah Allah untuk disampaikan kepada umatnya berupa kewajiban shalat 50 waktu.
Maka, nabi taat atas perintah Allah tanpa mengajukan pertanyaan mengapa jumlahnya sekian, apakah tidak terlalu banyak dan akan menyulitkan umatnya.
Kedua, terbuka dan mau menerima saran. Ketika Nabi Musa memberikan saran kepada Mabi Muhammad agar menemui Allah lagi guna meminta pengurangan jumlah shalat yang 50, karena menurut Musa umat nabi Muhammad tidak akan sanggup untuk melaksanakannya.
Karena itu kebenaran dan buat kebaikan untuk umatnya, nabipun menerima saran Musa. Begitulah jika dalam hidup ini terdapat saran yang baik dan benar, terlepas siapapun yang menyampaikan, maka ada baiknya melaksanakannya (Unzhur ma Qola wa Tanzhur Man Qala).
Ketiga, punya empati dan peduli. Setelah mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw mendapatkan perintah shalat 50 waktu, maka Nabi musa menunjukkan kepeduliannya kepada nabi Muhammad dengan memberikan masukan agar meminta keringanan jumlah shalat.
Begitupun Nabi Muhammad, karena sangat peduli dengan kita umatnya, biar kita mudah melaksanakannya, selamat dunia akhirat, maka Nabipun bolak balik ke langit hingga jumlah shalat menjadi 5 waktu seperti yang kita lakukan selama ini.
Maka, selaku makhluk sosial, perlu menumbuhkan jiwa empati dan peduli kepada sesama, baik menghilangkan kesulitan sesama, meringkan beban, menutup aib saudaranya. Karena nabi menegaskan bahwa Allah senantiasa akan menolong hambaNya selama hambaNya peduli dengan sesama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: