JAKARTA - Tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang sangat rendah terhadap dua terdakwa pelaku penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan terus mandapat perlawanan dari banyak kalangan. Tuntutan setahun penjara itu dinilai janggal dan tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
Peneliti Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Agung Nugroho mengatakan tuntutan terhadap dua oknum Polri, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir itu mengandung beberapa persoalan. Pertama, soal tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu sebagaimana diungkapkan jaksa. "Itu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru," ujarnya, Minggu (14/6). Menurut Agung, unsur rencana terlebih dahulu mengandung 3 unsur. Diantaranya memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang. "Dalam kasus ini (Novel), terdakwa telah memenuhi tiga unsur itu," paparnya. Pembuktian unsur itu merujuk adanya pengintaian sebelum kejadian dan air keras yang telah dipersiapkan. Agung menambahkan, argumen JPU juga salah terkait kesengajaan. "Tindakan terdakwa tidak semata-mata (hanya) dikualifikasikan kesengajaan sebagai maksud, melainkan juga kesengajaan sebagai kemungkinan," ungkap Agung. Pukat UGM juga menyoal pasal yang dikenakan kepada terdakwa. Yakni pasal 353 ayat (2) KUHP atau penganiayaan biasa. Padahal, tindakan terdakwa tergolong penganiayaan berat lantaran mata kiri Novel cacat permanen. JPU, kata Agung, seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada pasal penganiayaan berat sebagaimana dimaksud pasal 355 ayat (1) KUHP. "Dalam konteks hukum pidana, dikenal adanya kesengajaan yang diobjektifkan, artinya ada tidaknya kesengajaan dilihat dari perbuatan yang tampak," paparnya. Pukat UGM juga menyayangkan sikap jaksa yang cenderung mempertimbangkan keterangan pelaku sebagai bukti. "Padahal terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar," sindirnya. Agung menyebut harapan terakhir Novel untuk memperoleh keadilan ada di palu majelis hakim Pangadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Dia menegaskan tuntutan jaksa yang dibalut dengan berbagai kejanggalan tidak tepat dijadikan satu-satunya rujukan dalam menjatuhkan putusan. "Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan berat ringannya hukuman, termasuk menjatuhkan hukuman pidana melebihi tuntutan jaksa," imbuh dia. (tyo)Kasus Novel, Hakim Harapan Terakhir
Senin 15-06-2020,11:26 WIB
Editor : redaksi rb
Kategori :