DERETAN kasus terorisme yang terjadi di Indonesia terus terjadi seolah hadir untuk mewarnai kehidupan politik, berberbangsa dan bernegara di republik ini. Aksi terorisme yang berarti melakukan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, membuat masyarakat Indonesia memiliki kesadaran dan pandangan tersendiri dalam menyikapi terorisme. Nyatanya isu terorisme di Indonesia menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Membahas mengenai motif pelaku dan siapa pelaku itu sendiri–warga internet Indonesia secara cepat langsung bisa mendapat informasi pribadi pelaku terorisme, silsilah keluarga, kehidupan, pekerjaan dan lainnya– Identitas primordial pelaku terorisme tidak mungkin tidak disinggung apabila berbicara mengenai kejadian terorisme di Indonesia. Pelaku terorisme yang seringkali terindikasi berhubungan dengan kelompok teror berbasis agama menjadikan gambaran akan agama tertentu yaitu–Islam membuat ketakutan terhadap agama Islam dan terbentuknya suatu stigma negatif apabila orang berpakaian menggunakan atribut keislaman. Lantas kapan isu mengenai identitas politik yang berafiliasi dengan identitas agama ini dapat menuai konflik dan terus membesar hingga menyebar ketakutan? Polemik ini dapat dilihat menggunakan sudut pandang orientalisme dari Edward Said, seorang pemikir politik asal Amerika Serikat yang dengan lantang membela Palestina dalam konflik Palestina–Israel. Melalui karya dan pemikirannya Said mengatakan bahwa konflik tersebut tidak dapat terlepas dari pandangan dunia barat (Amerika, Eropa, Australia) terhadap dunia timur (Asia dan Afrika). Untuk memahami mengenai fenomena ini, kita dapat memahami terlebih dahulu salah satu konflik antar umat beragama yang berkepanjangan yaitu konflik antara Palestina–Israel yang belum terselesaikan hingga sekarang. Berbagai perjanjian antara kedua belah pihak terus dilakukan dengan tujuan menemukan titik tengah, tetapi hingga sekarang perjanjian tersebut belum bisa menyelesaikan konflik yang terjadi. Sebagai latar belakang, konflik Israel–Palestina merupakan konflik yang sudah dimulai sejak akhir perang dunia kedua. Dr Gil Merom, pakar keamanan internasional dari University of Sydney saat wawancara bersama SBS News mengatakan bahwa ini adalah konflik tentang wilayah, sesederhana itu (Matapolitik, 2021). Konflik yang terjadi adalah perebutan wilayah yang dimulai pada saat serangkaian Aliyah—gerakan besar-besaran Yahudi dari seluruh dunia untuk masuk ke suatu daerah, yang dari 1917 secara resmi dikenal sebagai Palestina—terjadi. Sehingga kedua pihak ingin mendirikan negara di tanah yang sama. Wilayah geografis yang terletak diantara Laut Mediterania dan Sungai Jorda adalah wilayah yang diperebutkan, namun saat ini Israel telah melabeli wilayah tersebut, di sana terdapat terdapat kota Yerusalem yang dianggap suci bagi orang Arab Palestina maupun orang Yahudi Israel. Konflik ini berkepanjangan dipercaya salah satu penyebabnya karena intervensi yang besar dari negara Amerika Serikat yang membantu Israel untuk menguasai wilayah tersebut, yang mengakibatkan empat juta orang palestina harus mencari tempat tinggal baru keluar dari wilayah Palestina karena terus diserang dan kedua belah pihak tidak sungkan untuk saling merenggut nyawa orang-orang. Hingga saat ini hanya sekitar 20 persen orang Palestina yang masih bertahan di wilayah tersebut, dengan kondisi Israel yang mengontrol perbatasan. Dalam wawancara yang dilakukan oleh Edward Said mengatakan bahwa saat ini Israel punya kekuatan, teritori adalah hak Yerusalem, apa yang telah dilakukan seperti perjanjian ekonomi Paris, perjanjian Kairo dirancang untuk menjaga Israel mendapat keuntungan yang luar biasa di tepi barat Gaza, yang akan menjamin hak Israel mengontrol kedaulatan Israel dengan dapat mengubah demografi dan geografi. Sementara yang dirancang untuk orang Palestina adalah larangan yang efektif dan Palestina tidak dapat memiliki pemerintahan. (Youtube: Manufacturing Intellect) Konflik Israel–Palestina ini menjadi faktor tersendiri terhadap penggambaran umat muslim dunia, seolah perang ini adalah perang antara muslim seluruh dunia dan Yahudi. Negara dengan umat mayoritas muslim akan mendukung Palestina dan begitu pula sebaliknya. Cara pandang para sarjana Eropa dalam melihat konflik ini pun bermunculan. Para sarjana Eropa yang menghegemoni dunia Timur khususnya Arab dalam pengertian dan definisi yang mereka rumuskan sebagai orientalisme. Menurut (Said, 2001), orientalisme adalah sebuah cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa. Said menegaskan bahwa orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang dibuat antara “Timur” sebagai (the Orient) dan hampir selalu “Barat” sebagai (the occident). Bagi orang barat, wilayah timur bukan sekedar kedekatan geografis, melainkan merupakan koloni Eropa yang terbesar, terkaya, dan tertua. Pandangan orang barat terhadap bangsa timur digambarkan pada masa dimulainya orientalisme modern. Yaitu Timur didefinisikan dalam sudut pandang kolonialisme yang sangat memandang rendah kepada manusia Timur, seperti orang Timur dianggap irasional, bejat moral, kekanak-kanakan, dan “berbeda”; sebaliknya orang Eropa adalah lebih rasional, berbudi luhur, dewasa, dan “normal”. (Sakinah, 2014) Melalui pandangan orientalisme, kita dapat memahami kondisi politik dewasa yang terjadi di Indonesia dengan konsep orientalisme dari Edward Said. Indonesia sebagai salah satu negara timur yang mayoritas warga negaranya memeluk agama Islam secara tidak langsung memiliki memiliki mentalitas sebagai bangsa yang terbelakang, pernah dijajah, dan harus terus berjuang agar bisa ‘menyamakan’ kedudukan seperti masyarakat barat. Walau dalam pembuatan kebijakan Indonesia terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, Indonesia masih belum bisa terlepas dari stigma Timur Islam bersifat spiritual, semitis, kesukuan, monoteistis, dan bukan Aria. (Said, 2001). Sehingga membeda-beda kan suatu kaum berdasarkan agama adalah hal yang biasa terjadi di Indonesia. Pada proses pemilihan pemimpin di Indonesia yang membutuhkan kontestasi politik pun seringkali menggunakan isu agama untuk memenangkan pemilihan kepala daerah tersebut. Dari sisi pihak muslim, larangan dalam memilih pemimpin daerah yang bukan muslim berarti dianggap ingin mendukung umat muslim dipimpin oleh seorang kafir, dari sisi sebaliknya, muslim seringkali dikaitkan sebagai pelaku tindakan radikalisme dan terorisme. Seperti terorisme yang terjadi beberapa waktu terakhir ini menyerang tempat ibadah umat kristiani di Gereja Katedral Makassar pada Minggu, 28 Maret 2021 lalu dan penyerangan di Mabes Polri pada Rabu, 31 Maret 2021 yang menggunakan atribut muslim dan menggunakan simbol-simbol Arab, menambah kebencian terhadap muslim. Padahal tindakan sekelompok orang an agama merupakan hal yang tidak bijak apabila dikaitkan, narasi mengenai tidak ada agama yang membenarkan untuk menyerang agama lain hingga merenggut nyawa sesama manusia terus digaungkan agar keharmonisan antar umat beragama tetap bisa dijalin dan menekan pandangan orientalis yang memojokkan umat muslim. Identitas politik seorang individu menjadi hal yang mempengaruhi pelaksanaan kontestasi politik di Indonesia. Identitas dan isu politik merupakan wacana yang sering muncul dalam ranah poskolonial sebagai konstruksi aspek kolonial, penjajah, dan terjajah.) Dijelaskan bahwa identitas seorang individu dapat diketahui melalui karakteristik fisik—ras—juga melalui pemikiran-pemikirannya. Bentuk identitas yang terdapat dalam wacana poskolonial bersifat oposisi biner—superior dan inferior, meski demikian kondisi biner tersebut dapat memunculkan identitas baru (Sakinah,2014). Namun, kecintaan individu terhadap agama yang dipeluknya tidak dapat mengatur hak individu tersebut untuk menunjukan identitasnya apa tidak. Pada akhirnya seperti yang telah dijelaskan oleh perspektif social construction of reality, politik identitas seharusnya dipandang sebagai konstruksi sosial, usaha penciptaan identitas yang dilakukan secara sadar dan melalui berbagai cara, bukan dipandang sebagai sesuatu yang secara alami melekat dalam diri individu. Dalam memandang kejadian-kejadian terorisme yang terjadi di Indonesia, perspektif orientalisme dapat digunakan apabila menilik sejarah dan kejadian sebelumnya yang membuat masyarakat terkontruksi dan memiliki sentiment tersendiri bagi pelaku teror yang dipercaya terafiliasi dengan ajaran agama tertentu. Warga Indonesia–yang merupakan penduduk dari negara timur,–apabila ingin lebih bijak dalam menyikapi kasus terorisme yang terjadi harus menyadari mengenai perspektif orientalisme yang mana fenomena ini masih mengakar kuat pada bangsa barat dalam memandang masyarkat di negara timur. Agar dapat bersaing dengan negara-negara barat, sikap nasionalisme yang tinggi akan toleransi dan menghargai antar umat beragama harus terpupuk dengan subur di dalam diri masing-masing, sehingga tidak aka nada lagi cerita mudah tersulut emosi ketika sentimen identitas politik digunakan pada saat terjadi tindakan terorisme maupun pada saat sedang dilakukannya kontestasi politik. Oleh Fina Leonita. Mahasiswa Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia Angkatan 2020 REFERENSI: Said, E. (2001). Orientalism. England: Penguin Classics. Wulandari, Retno. (2021). Awal Mula Konflik Israel-Palestina: Semua yang Perlu Kita Tahu. Matapolitik.com diakses melalui https://www.matamatapolitik.com/in-depth-awal-mula-konflik-israel-palestina-semua-yang-perlu-kita-tahu/ (diakses pada 14 April 2021) Sakinah, R. (2014). Pandangan Orientalis Terhadap Identitas dan Isu Politik Tokoh Perempuan dalam Putri Cina.Jurnal Program Pascasarjana Sastra Kontemporer Universitas Padjadjaran Bandung. Manufacturing Intellect. (2016). Edward Said Interview (1994). [Video]. Diakses pada laman https://youtu.be/OAu-52feMS8
Bisakah Menggunakan Perspektif Orientalisme dalam Memandang Terorisme di Indonesia?
Sabtu 17-04-2021,14:37 WIB
Oleh: redaksi rb
Kategori :