JAKARTA, rakyatbengkulu.com – Keputusan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menaikkan Domestic Market Obligation (DMO) minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) mendapat penolakan dari kalangan pengusaha. Pelaku usaha industri minyak nabati keberatan kenaikan DMO dari 20 menjadi 30 persen. Alasannya, kebijakan itu tidak berpihak ada industri sawit dan ekosistemnya. ”Kami terus terang tidak setuju dengan DMO 30 persen ini memojokkan perindustrian persawitan. Kalau ekspor macet itu semua akan macet," ujar Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, Sabtu (12/3). BACA JUGA: OP Migor di Sini Aman Terkendali, Lokasinya di Dalam Areal Kodim Sahat mengapresiasi kebijakan DMO sebelumnya yang mampu mengumpulkan sekitar 415 ribu kilo liter minyak goreng sawit dalam waktu 22 hari. Jumlah tersebut sudah melebihi kebutuhan selama sebulan yaitu, 330 ribu kilo liter. Artinya, pemerintah tak perlu menaikkan kebijakan DMO menjadi 30 persen. ” Itu berarti ada 48 persen tambahan margin produk ekspor yang hilang, harus dicari penggantinya. Dan, itu tidak mudah,” bebernya. DMO yang naik, lanjut Sahat, juga akan meningkatkan stok minyak sawit. Padahal, kapasitas tampung tiap perusahaan disebut terbatas. ”Tangki-tangki kita itu menurut pengalaman kami bersama Gapki (Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia) itu hanya sekitar 4,8 juta ton bisa menampung. Jika ekspor dikurangi maka, stok menjadi 5,9 juta ton,” urainya. Sahat menegaskan, kelangkaan minyak goreng yang terjadi saat ini terjadi bukan dikarenakan kekurangan pasokan. Tapi, alur distribusi yang harus diperbaiki. Apabila, ekspor itu terhalang maka perkebunan sawit akan rugi. ”Serta mayoritas TBS (tandan buah segar) petani tidak akan terolah karena market mayoritas ada di luar negeri,” ucapnya. BACA JUGA: Pemerintah Tak Jadi Naikkan Pertalite
Enam Produsen Migor Stop Produksi
Senin 14-03-2022,10:08 WIB
Editor : redaksi rb
Kategori :