Tuanku Nan Renceh akhirnya bergabung dan mengajak orang-orang lain untuk ikut serta bergabung.
Kemudian Mereka ini tergabung ke dalam kelompok bernama Harimau nan Salapan.
Kelompok Harimau nan Salapan kemudian meminta Kesultanan Pagaruyuang yaitu Sultan Arifin Muningsyah, serta kerabat kerajaan bernama Tuanku Lintau, untuk bergabung dan meninggalkan kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Yang Dipertuan Pagaruyung tidak sepakat dan Sultan Arifin Muningsyah masih tidak ingin meninggalkan tradisi atau kebiasaan yang sudah dijalankan adat sejak dulu di Minangkabau.
BACA JUGA:Peristiwa Perang Bubat di Zaman Majapahit, Awal Mula Mitos Suku Sunda-Jawa yang Tidak Boleh Bersatu
Adapun beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, yaitu sabung ayam, judi, serta minum minuman keras.
Masyarakat adat pada saat itu telah banyak yang memeluk agama Islam.
Kebiasaan ini tidak sesuai dengan mayoritas masyarakat Kaum Adat yang beragama Islam.
Kaum Padri terpaksa menanggapinya menggunakan cara keras untuk bisa mengubah kebiasaan itu sekaligus juga melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.
BACA JUGA:Jika Meletus Perang Dunia ke-3, Negara-negara Ini Bakal Jadi Sekutu Indonesia
Pada tahun 1803 masehi, Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum Padri ke Kerajaan Pagaruyang.
Akibat Perang ini Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari istana.
Kemudian di Tahun 1815 masehi golongan Padri yang dipimpin kelompok Harimau nan Salapan berhasil menyudutkan kaum Adat.
Adapun tokoh terkemuka dari Harimau nan Salapan yaitu Tuanku Nan Receh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun.
Dikarenakan semakin terdesak, kaum Adat kemudian meminta bantuan kepada Belanda yang pada saat itu menjajah wilayah Nusantara dan termasuk juga Minangkabau.