Awards Disway
HONDA

Cegah Konflik Agraria, Pemprov Bengkulu Dorong Dialog Terbuka dengan Masyarakat

Cegah Konflik Agraria, Pemprov Bengkulu Dorong Dialog Terbuka dengan Masyarakat

Cegah Konflik Agraria, Pemprov Bengkulu Dorong Dialog Terbuka dengan Masyarakat--Ist/Rakyatbengkulu.com

BENGKULU, RAKYATBENGKULU.COM – Konflik agraria terus menjadi isu yang kompleks di Indonesia, melibatkan sektor pertanian, permukiman, dan pengelolaan sumber daya alam. 

Untuk mengatasi persoalan ini, Pemerintah Provinsi Bengkulu melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) menekankan pentingnya komunikasi intensif dan sinergi antara semua pihak, mulai dari masyarakat, perusahaan, pemerintah hingga penegak hukum.

Hal tersebut disampaikan oleh Gubernur Bengkulu Helmi Hasan, didampingi Wakil Gubernur Mian dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Reforma Agraria yang berlangsung di Ruang Rapat Lantai III Kantor Gubernur Bengkulu pada Rabu 24 September 2025 siang. 

Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Helmi menekankan bahwa GTRA harus proaktif dalam menampung aspirasi masyarakat serta merangkul mereka untuk mencegah terjadinya konflik agraria.

BACA JUGA:Pidato Presiden di PBB Tunjukkan Komitmen Kuat Jaga Perdamaian

BACA JUGA:Persiapan Matang, Pemprov Bengkulu Siap Sukseskan Gerakan Tanam Jagung Nasional di Bengkulu Tengah

“Kita harus biasakan dialog. Orang demo itu karena tidak ada salurannya, jadi harus kita buka dulu, kita undang mereka. Pemerintah yang proaktif, terutama gugus tugas reforma agraria. Jangan menunggu suara masyarakat teriak dulu, baru kita tampung. Di gugus tugas ini semua unsur sudah lengkap, ada pemerintah, kejaksaan, kepolisian, BPN, dan lainnya. Kalau ada indikasi bakal ada konflik, segera rembuk bersama untuk mencari solusinya,” tegas Helmi Hasan.

Dalam rapat tersebut, terungkap bahwa sepanjang 2023–2025, tercatat sebanyak 16 kasus Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan (GUKP) yang terdaftar di Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bengkulu. 

Beberapa kasus telah berhasil diselesaikan di tingkat provinsi maupun kabupaten.

Kasus-kasus konflik agraria di Bengkulu mencakup berbagai isu, antara lain okupasi lahan oleh masyarakat tanpa kepemilikan sah, penolakan terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit, tumpang tindih lahan, penelantaran lahan oleh perusahaan, penggantian komoditas, perusahaan yang belum memiliki HGU (Hak Guna Usaha), pencurian tandan buah segar atau getah karet, serta tuntutan pembangunan plasma masyarakat.

BACA JUGA:Kasus DBD di Mukomuko Turun Drastis, Dinkes Tetap Imbau Masyarakat Waspada

BACA JUGA:Kasus Pemerkosaan Tahanan Perempuan di Kaur, Polda Bengkulu Tegaskan BN Bukan Lagi Anggota Polri

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bengkulu, Indera Imanuddin menjelaskan bahwa penetapan status tanah terlantar sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni hingga 587 hari.

“Proses evaluasi untuk menetapkan suatu lahan itu terlantar waktunya selama 587 hari. Setelah mendapatkan hak atas tanah, baik hak guna bangunan maupun hak guna usaha, jika dalam dua tahun tidak dimanfaatkan dan didayagunakan, pemerintah dapat menetapkan tanah tersebut menjadi objek tanah terlantar,” jelas Indera Imanuddin.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait