MARADONA, CINTA DAN NASIONALISME
SIAPA lebih hebat, Maradona atau Lionel Messi? Dari sisi skill mengolah si kulit bundar, keduanya punya kemampuan yang selevel. Sama-sama berkelas dunia. Sama-sama mengandalkan kaki kiri. Kalau ukurannya trophy di tingkat klub, Messi lebih unggul. Dia meraih empat gelar Liga Champion dan 10 gelar La Liga bersama Barcelona. Enam kali meraih ballon d’or. Ditambah emas olimpiade 2008. Meski begitu, si kutu dianggap belum bisa menyamai Maradona. Alasannya cuma satu? Trophy Piala Dunia. Sesuatu yang sampai saat ini belum bisa diraih Messi.
Tahun 1986 adalah puncak prestasi Maradona. Sendirian dia membawa Argentina menjuarai Piala Dunia yang berlangsung di Meksiko. Perhelatan akbar olahraga paling popular sejagat itu benar-benar menjadi panggung bagi pemain kelahiran 30 Oktober 1960 tersebut. Namanya berkibar. Menjadi headline surat kabar-surat kabar top dunia. Terlebih lagi, Thropy Piala Dunia itu dilengkapi gol spektakuler ke gawang Inggris di babak perempatfinal. Maradona menggiring bola sendirian dari tengah lapangan. Melewati lima pemain lawan termasuk mengecoh kiper Peter Shilton sebelum menceploskan si kulit bundar ke gawang. Gol tersebut kemudian dinobatkan FIFA sebagai gol terbaik abad XX.
Gol tersebut seolah menghapus kontroversi empat menit sebelumnya. Ketika Maradona mencetak gol pertama Argentina dengan bantuan tangan. Dia meloncat sambil mengangkat tangan mendahului Peter Shilton yang lebih tinggi 20 cm dari Maradona. Seusai pertandingan, kepada wartawan Maradona mengakui tangannya menyentuh bola sebelum bergulir masuk ke gawang. Namun hal tersebut luput dari pandangan wasit dan tetap mengesahkan gol tersebut. Keesokan harinya, pemberitaan di berbagai penjuru dunia menjuluki gol tersebut sebagai gol tangan Tuhan.
Maradona adalah pemimpin. Bukan sekedar pemain. Itulah yang membedakan dirinya dengan Lionel Messi. Kendati sama-sama memegang ban kapten Argentina, namun leadership Maradona begitu menonjol saat mengomandoi rekan-rekannya dalam pertandingan sekelas Piala Dunia. Dengan kharisma yang dimilikinya, Maradona mampu menyalakan api nasionalisme pemain negeri Evita Peron tersebut. Sehingga walaupun secara skill, para pemain Argentina tidak begitu merata, namun saat bertanding membela kostum Timnas, mereka tampil maksimal. Main bersama Maradona, bagi pemain Argentina, seolah sudah maju selangkah meraih kemenangan. Bersama Maradona, para pemain tampil penuh percaya diri.
Apa yang diperlihatkan Maradona dalam mengusung spirit nasionalisme saat tampil membela Argentina, belum bisa ditunjukkan Lional Messi. Ketika lagu kebangsaan Argentina berkumandang sesaat sebelum kick off, Maradona selalu tampil dengan kepala tegak dan bibir berucap lantang menyanyikan Himno Nacional Argentino. Lionel Messi biasa-biasa saja. Bahkan, sering terlihat Messi menundukkan kepala sambil tangannya mengusap-usap leher saat lagu kebangsaan negaranya berkumandang.
Untuk menjadi pemimpin, tak cukup hebat secara skill individu. Tapi dia harus mampu menularkan kehebatannya itu kepada orang-orang yang dipimpinnya. Tugas pemimpin adalah memimpin. Dia harus berada di depan. Mengkoordinir, mengatur, memotivasi, mendorong kemampuan orang-orang yang dipimpin, serta memacu rasa nasionalisme. Sehingga muncul spirit juang dan perasaan bahwa yang dibela adalah kepentingan bangsa dan Negara.
Itu mengapa Maradona dan jutaan rakyat Argentina tak mampu menahan tangis ketika empat tahun kemudian, gol tunggal Andreas Brehme, menghempaskan Argentina di babak final. Gol lewat titik duabelas pas itu mengantarkan Jerman merengkuh Trophy Piala Dunia ketiga kalinya. Kemenangan 1-0 atas Argentina itu sudah cukup membalaskan luka kekalahan 2-3 dari tim yang sama di final Piala Dunia tahun 1986.
Nasionalisme Maradona juga pernah diuji saat dia harus “menghadapi” para pecintanya sendiri. Di Stadion San Paolo Napoli, Argentina bertemu Italia di babak semifinal Piala Dunia 1990. Penggemar bola sudah paham, Napoli adalah rumah kedua bagi Maradona. Para supporter Italia sebagian besar adalah supporter Napoli. Tapi ini panggung yang berbeda. Selama 2 X 45 menit, kedua pihak, Maradona dan supporter Napoli harus membela Negara masing-masing. Di atas tribun stadion terbentang spanduk, “Maradona, Naples Love You. But Italia is Our Country.”
Maradona juga sadar. Mengalahkan Italia itu artinya melukai orang-orang yang mencintainya. Tapi sekali lagi, ini soal nasionalisme. Maradona pun membalas para supporter Napoli, “I Love You All, But Argentina is My Country.” Itulah pertandingan yang sangat menguras emosi. Sebelum laga itu, Maradona baru saja mempersembahkan trophy Juara Liga Seri A kedua kalinya bagi Napoli. Prestasi yang membuat Maradona makin dielu-elukan. Dipuja dan dicinta.
Adakah orang yang sanggup melukai hati orang-orang yang dicintainya? Dilema terkadang datang tanpa direncana. Tapi hidup adalah pilihan. Seperti kata William Shakespare, Maradona berkata Aku mencintaimu lebih dari kata-kata, tapi rasa cinta kepada tanah air dan bangsa tidak tergantikan oleh apapun juga. Nasionalisme itu akhirnya melahirkan “rasa tega” saat Maradona menjadi kreator lahirnya gol Claudio Cannigia ke gawang Walter Zenga sehingga memaksa pertandingan harus diakhiri adu penalti. Pada babak tos-tosan, Sergio Goycochea sukses memblok dua penendang terakhir tim Azzuri. Italia pun kalah 3-4 dan gagal melaju ke final. Tangis pecah di seantero Italia. Bagi suporter Napoli, sulit untuk dijelaskan. Apakah tangis saat itu tangis sedih atau tangis haru.
Ngomong-ngomong soal nasionalisme, dua hari lagi Indonesia akan merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-75. Bendera merah putih sudah terpancang di depan rumah sejak 1 Agustus. Di tengah berbagai problema yang melanda bangsa ini, kita harus selalu optimis dan menjaga spirit. SALAM CINTA UNTUK MERAH PUTIH. MERDEKA.
(Oleh Zacky Antony. Penulis adalah Ketua PWI Provinsi Bengkulu)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: