HONDA

Gairah Oligarki, Omnibus Law Jadi Amunisi

Gairah Oligarki, Omnibus Law Jadi Amunisi

APA mau dikata, Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, yang dinilai pro-pemilik modal dan cacat prosedural pembentukan hukum, telah “sah” seraya tiga kali ketukan palu oleh pimpinan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR), yang digelar di gedung DPR Senayan. Para kaum borjuis dan kapitalis asing tentu menyambut girang hal ini, namun gelombang penolakan yang besar dari mahasiswa, akademisi, dan juga berbagai elemen masyarakat tak dapat terelakkan.

Sedari awal RUU Cipta Kerja mencuat di publik, telah banyak respon penolakan dari berbagai elemen, mulai dari yang tidak setuju dengan substansi di dalamnya yang berisikan pasal-pasal bermasalah dan merugikan rakyat kecil, hingga pada prosedural pembentukannya yang dinilai cacat hukum, karena tidak ada di dalam Peraturan Perundangan di Indonesia, yang mengatur mengenai mekanisme pembentukan “penyederhanaan” Regulasi (Undang-Undang) yang dikenal dengan istilah Omnibus Law.

Partisipasi publik yang harusnya terdapat di dalam sebuah Rancangan Undang-Undang pun, dapat dikatakan minim pada RUU Cipta Kerja ini, padahal dengan jelas telah diatur didalam pasal 96 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang peran partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Aspirasi rakyat seakan dibungkam, dan bahkan dipentalkan dengan dalih “kita sudah punya Wakil Rakyat di Senayan”.

Substansi Kontroversi

Beberapa substansi yang  banyak ditentang oleh berbagai pihak pada RUU Cipta Kerja, dari yang dinilai merugikan pekerja khususnya kaum buruh, hingga pada poin yang dinilai menggadaikan “aset” negara Indonesia kepada pihak asing karena kelonggaran syarat investasi.

Dimulai dari pasal paling krusial bagi pekerja, yang termaktub dalam pasal 81 RUU Omnibus Law Cipta Kerja, mengenai penghapusan ketentuan pasal 89 dan 90 UU No.12 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dengan aturan tersebut memungkinkan pekerja bisa saja mendapatkan penghasilan yang lebih rendah dari upah minimum. Tentunya hal ini akan sangat merugikan pekerja, karena dengan adanya ketentuan mengenai upah minimum saja, banyak pelaku usaha yang memberikan gaji di bawah upah minimum, apalagi jika peraturan tersebut dicabut, tentu ketidakpastian hukum akan menjadi-jadi.

Pada pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), disebutkan bahwa “pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan perkara setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”. Hal ini tidak diberlakukan lagi dengan hadirnya RUU Cipta Kerja, artinya ada kemungkinan pelaku usaha akan memutuskan hubungan kerja secara sepihak.

Kemudian perihal Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sebelumnya diatur didalam UU No.39 Tahun 2009 tentang KEK, yang mengatur bahwa fasilitas dan kemudahan imigrasi hanya diberikan bagi pelaku usaha yang memiliki izin di Kawasan Ekonomi Khusus.  Pada pasal 38 RUU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan tersebut, dan mempermudah kepentingan asing masuk ke Indonesia, dengan memberikan fasilitas bagi pelaku usaha asing  yang bahkan bukan pelaku usaha di Kawasan Ekonomi Khusus.

Dan yang paling disayangkan adalah ketentuan pasal 136 RUU Cipta Kerja, dinyatakan disana bahwa Hak Milik atas satuan rumah dapat diberikan pada salah satunya Warga Negara Asing (WNA), hak milik ini juga dapat dijaminkan atau dialihkan. Yang mana ketentuan sebelumnya yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) PP No. 103 Tahun 2015 tentang pemilikan rumah tempat tinggal bagi WNA, hanya sebatas ‘Hak Pakai’ bukan Hak Milik.

Menciderai Konstitusi

Terlepas dari substansi di dalam RUU Cipta Kerja yang banyak menuai kontroversi, jika dianalisis dari aspek Yuridis Konstitusional, pembentukan Omnibus Law dengan dalih “penyederhanaan regulasi” tidak dapat dibenarkan, karena tidak ada mekanisme di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yang menjelaskan mengenai prosedur pembentukannya.

Dapat dikatakan pembentukan RUU Cipta Kerja ini cacat hukum dan menciderai konstitusi. Karena prosedur pembetukannya, juga tidak diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Lalu bagaimana bisa sebuah Undang-Undang dibentuk tanpa prosedur yang jelas?

Seharusnya jika ingin merancang Undang-Undang Omnibus Law, yang dapat dikatakan “cabut timpa regulasi” langkah awal yang harus diambil adalah membuat “prosedur pembentukan” terlebih dahulu, barulah ketika prosedurnya telah diatur di dalam peraturan perundangan Indonesia, Omnibus Law ini dapat dirancang.

Hal ini menandakan bahwa pembentukan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini, terkesan terburu-buru dan patut dicurigai ada kepentingan lain yang terkandung di dalamnya. Dilihat dari banyaknya pasal yang menguntungkan kapitalis asing dan merugikan rakyat kecil khususnya para pekerja.

Pertanyaan selanjutnya adalah, mau dibawa kemana Indonesia, ketika kebijakan yang harusnya merakyat justru membela konglomerat? (Oleh: Try Mulya Naposo Siregar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: