Restoratif Justice, Ada 11 Perkara Dihentikan Penuntutan, Kajati: Keadilan Ada di Hati Nurani
BENGKULU – Dari tahun 2020 lalu hingga pertengahan tahun 2021 ini, Bidang Tindak Pidana Umum di enam Kejaksaan Negeri (Kejari) se-Provinsi Bengkulu telah melakukan penghentian penuntutan berdasarkan Restoratif Justice sebanyak 11 perkara. Proses penegakan hukum melalui pendekatan keadilan restorative ini mengacu pada Perja No 15 Tahun 2020.
Definisi keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Kajati Bengkulu, Agnes Triani, SH, MH mengatakan 11 perkara yang dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan restoratif justice tersebut ditangani oleh Kejari Kaur sebanyak 3 perkara, Kejari Lebong sebanyak 3 perkara, Kejari Kepahiang sebanyak 2 perkara serta Kejari Bengkulu Tengah, Kejari Rejang Lebong dan Kejari Mukomuko masing-masing 1 perkara. Hal itu dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, cepat sederhana dan biaya ringan. Serta diharapkan mampu menyelesaikan perkara tindak pidana ringan (Tipiring) tanpa ke meja hijau.
“Saya ingin mengutip kembali pesan Jaksa Agung yang mengatakan agar tidak melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP ataupun KUHAP melainkan ada dalam hati nurani,” sampai Kajati kemarin.
Kajati Bengkulu menambahkan, ada beberapa syarat-syarat khusus bagi seseorang yang berhak menerima Restorative Justice. Antara lain tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan dan kerugian di bawah Rp 2,5 juta. Serta pelaku bukan residivis dan adanya surat permohonan perdamaian kedua belah pihak baik pelapor dan terlapor.
Kajati juga menegaskan bahwa dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum, jajarannya tidak boleh terjebak dalam terali kepastian hukum dan keadilan prosedural semata. Sehingga mengabaikan keadilan substansial yang sejatinya menjadi tujuan utama dari hukum itu sendiri. “Karena perlu diingat bahwa Equm Et Bonum Est Lex Legum atau apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum,” sampai Kajati. (cup)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: