HONDA

Petani Sawit Desak Hapus Kebijakan DMO dan DPO

Petani Sawit Desak Hapus Kebijakan DMO dan DPO

 

Diduga Terjadi Penimbunan CPO

MUKOMUKO, rakyatbengkulu.com – Punic buying dalam pembelian minyak goreng (migor) yang melanda hampir seluruh daerah di Provinsi Bengkulu, diyakini sebagai dampak buruk dari pemberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).

Dimana kebijakan tersebut diduga kuat memicu terjadi penimbunan crude palm oil (CPO) atau bahan baku migor.

Kemudian kebijakan itu juga perlahan membunuh petani kepala sawit. Sebab harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit petani dibeli murah.

Meskipun saat ini, kesannya harga TBS tinggi, faktanya untuk harga dunia, seharusnya harga TBS jauh lebih tinggi dari angka sekarang. BACA JUGA: Harga TBS Naik, Tak Signifikan Sejahterakan Petani

Oleh sebab itu, petani kepala sawit menuntut dihapuskannya kebijakan DMO dan DPO. Ini dinyatakan Ketua Ikatan Petani Sawit Mandiri (IPSM) Provinsi Bengkulu, Edy Manshury, S.Hut, MT.

“Sejak ada kebijakan tersebut, migor malah semakin tidak terkendali. Kembalikan saja seperti kebijakan sebelumnya. Hapus saja DMO dan DPO,” tegas Edy.

Dia menilai cukup aneh terkait rencana pemerintah menaikkan persentase DMO dari sekarang 20 persen, menjadi 30 persen. Diyakini dengan kebijakan itu akan membuat semakin langkanya migor dan juga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar.

Pasalnya, pebisnis akan berupaya menjual CPO dengan harga dunia. Sebab, harga CPO perliternya saat ini sampai Rp 15 ribu. Sedangkan harga pemerintah untuk kebijakan DPO dan DMO hanya Rp 9.300 perliter.

“Pada saat ini mau dinaikan 30 persen, tidak akan menyelesaikan masalah. Orang tidak mau jual CPO karena ada aturan DMO,” tukas Edy.

Menurutnya, dengan dikembalikan harga bahan baku migor ke harga dasar dunia, maka oknum-oknum penimbun segera merilis kembali barang-barang yang mereka timbun. Sebab jika tidak demikian, mereka akan kesulitan memutar modal. BACA JUGA: Polisi Turun Bagikan Migor

“Kapan perlu, tanpa pemberitahun penghapusan DPO dan DMO. Sehingga jadi pelajaran bagi penimbun. Bukan malah menaikkan dari 20 persen menjadi 30 persen,” sesalnya.  

Harga TBS Rendah

Lebih jauh dikemukakan Edy, Kebijakan DMO dan DPO membuat pengusaha atau pabrik tidak mau rugi.

Sehingga mereka pun membeli TBS petani dengan harga rendah. Karena CPO mereka nantinya hanya dijual dengan harga ditetapkan pemerintah Rp 9.300 perliter.

Dan pemerintah hingga sekarang terbukti tidak mampu mengendalikan. Jangankan untuk level nasional, bahkan gubernur ataupun kepala dinas terkait diyakini tidak dapat memastikan perusahaan mematuhi kebijakan tersebut.

“Siapa yang mengontrol? Misal pabrik A di Bengkulu, produksi CPOnya sampai 100 ton. Siapa yang pastikan, ada tidak dia menjual 20 ton dari CPO-nya itu untuk bahan baku migor? Ditanya dengan Gubernur Bengkulu maupun kadis pasti tidak tahu,” sampainya.

Ujung-ujungnya, petani yang dirugikan. Terlebih lagi sekarang ini, harga pupuk maupun herbisida naik drastis. Untuk kebutuhan pupuk 1 ton, petani harus mengeluarkan dana hingga Rp 140 juta.

Kemudian herbisida yang sekarang perjerigennya sekitar Rp 2 juta. Artinya jika dibutuhkan 10 jerigen akan cukup banyak uang yang harus dikeluarkan petani. Baca Selanjutnya>>>

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: