Anggaran Minta Maaf, Oleh: Dahlan Iskan

Minggu 23-05-2021,11:19 WIB
Reporter : redaksi rb
Editor : redaksi rb

Itu kali pertama terjadi di negara bagian California. Bahkan di seluruh Amerika. Kota itu memang berada di California: kota Antioch. Dari San Francisco sekitar 30 menit bermobil ke arah timur.

Penduduk kota itu 110.000 orang. Sebagian besar bekerja di kota besar sekitarnya. Kota Antioch kini berstatus kota hunian semata.

Penduduk Tionghoa di kota ini pernah terhinakan luar biasa. Mereka mengalami kejadian yang amat pahit. Awalnya mereka dilarang terlihat di tengah kota –setelah pukul 15.00. Sampai keesokan harinya. Mereka sampai harus membuat terowongan bawah tanah. Agar tetap bisa bekerja.

Lewat terowongan itu mereka berangkat dan pulang kerja. Terowongan itu menghubungkan perkampungan mereka ke perairan –tempat perahu-perahu membawa mereka ke tempat kerja. Umumnya mereka bekerja di pertambangan. Batu bara, tembaga, dan juga emas.

Di dekat kota Antioch itu memang ada tambang batu bara. Bekas tambang itu kini sudah menjadi bagian kota –disebut kawasan Berlian Hitam.

Dalam perkembangan berikutnya lebih parah lagi. Penduduk kulit putih di Antioch mengadakan demo. Lalu pawai keliling kota. Sambil meneriakkan tuntutan baru: agar semua orang Tionghoa diusir dari Antioch. Hari itu juga. Sebelum jam 15.00.

Penduduk Tionghoa pun meninggalkan kota itu. Tergopoh-gopoh. Pendemo lantas membakar perkampungan Tionghoa itu. Habis. Sampai rata dengan tanah.

Itu terjadi tahun 1850-an. Traumanya panjang. Sampai 100 tahun kemudian tidak ada orang Tionghoa di Antioch.

Kini penduduk Antioch sangat beragam. Keturunan Asia mencapai 10 persen –mayoritas Tionghoa. Sisanya adalah Vietnam, Kamboja, Laos, Korea, dan Jepang.

Penduduk kulit hitam juga kian banyak. Mencapai 20 persen. Penduduk asli Indian-American 10 persen. Dan Hispanic sekitar 20 persen.

Penduduk kulit putih pun kini tinggal 40 persen. Padahal, dulunya, mencapai 90 persen.

Tapi sisa kebencian itu masih ada. Dua bulan lalu sebuah restoran milik Tionghoa dibakar. Ada orang meletakkan obor di depan pintu restoran. Untungnya tidak parah.

Tak lama sebelumnya dua orang Tionghoa dipukul dari belakang. Tanpa sebab. Di tempat terpisah. Yakni ketika orang Tionghoa tersebut lagi jalan kaki di pusat kota.

Dan yang seperti itu tidak hanya di Antioch. Juga di San Francisco. Di New York. Di Texas. Dan di mana-mana. Di seluruh Amerika.

Perasaan anti-Asia sedang naik. Orang Korea pun jadi korban. Demikian juga orang Filipina. Mereka tidak bisa membedakan mana yang Tionghoa dan bukan.

Sampai minggu lalu, sejak Pandemi, telah terjadi 3.800 kasus kekerasan terhadap orang Asia. Di seluruh Amerika. Terbanyak di California –jumlah terbanyak keturunan Asia memang di situ.

Angka 3.800 adalah luar biasa besar. Beberapa sampai meninggal dunia. Misalnya yang dialami kakek 84 tahun ini. Padahal kakek itu keturunan Thailand. Namanya: Vicha Ratanapakdee. Ia lagi jalan-jalan di San Francisco. Ia dirampok. Dipukul. Jatuh. Meninggal.

Korban kekerasan itu umumnya memang orang tua. Sebenarnya agak pengecut. Beraninya dengan yang tidak lagi bertenaga. Bahkan tidak sedikit orang tua yang jadi korban itu wanita.

Untuk meredakan Anti-Asia itulah wali kota Antioch memiliki ide baru. Ia usulkan ide itu ke dewan kota: disetujui. Yakni: kota Antioch secara resmi meminta maaf atas perlakuan kejam yang dialami imigran dari Tiongkok di masa lalu.

“Meminta maaf itu tidak perlu pakai anggaran,” ujar sang wali kota. “Modalnya hanya hati yang terbuka,” tambahnya.

Kejadian ”minta maaf” ini menjadi berita nasional. Sampai-sampai New York Times menuliskannya panjang lebar. Itulah cara yang baik untuk meredakan ketegangan ras sekarang ini.

Wali kota itu tokoh kulit hitam. Dari Partai Demokrat. Namanya: Lamar Thorpe.

Peristiwa seperti yang dialami imigran Tionghoa di Antioch itu pernah dialami juga warga kulit hitam di mana-mana. Kampung orang kulit hitam juga pernah dibakar oleh pendemo kulit putih. Di Oklahoma. Di masa silam.

Antioch memang tergolong kota ”baru”. Tahun 1848 Antioch masih tanah kosong. Seorang pendatang dari Boston –yang penduduknya sudah pada– ingin punya padang gembalaan. Ia ke San Francisco. Lalu naik kapal kecil menyusuri teluk San Francisco ke arah pedalaman. Air laut yang melewati bawah jembatan Golden Gate itu memang menjorok sampai jauh ke pedalaman. Sampai lebih 60 Km. Sampai bertemu dengan muara sungai Sacramento.

Ketika mencapai kilometer 50 perahu itu berhenti. Ditambatkanlah kapal itu di tepi daratan. Di situlah ia memulai usaha peternakan: babi, sapi dan unggas. Ia bisa membuka lahan di situ seluas yang ia mau.

Setelah penduduk bertambah ia memutuskan memberi nama kota itu: Antioch. Itu mengambil nama dari kota yang terkenal di dunia Kristen: kota Antioch. Di Pantai laut Tengah. Sejajar dengan pantai Lebanon.

Antioch sudah jadi kota penting sejak sebelum Masehi. Semua penguasa masa silam merebut kota itu. Juga semua agama.

Letak kota Antioch itu kini masuk wilayah Turki. Di paling Selatan. Berbatasan dengan Syria.

Setelah Yesus disalip memang banyak pengikutnya lari ke utara. Ke arah Antioch ini. Murid Yesus terpenting lainnya, Paulus, lebih ke utara lagi. Sedikit. Ke pegunungan dekat kota tua Ephesus.

Di situ Paulus menyelamatkan Maria, ibunda Yesus. Di sebuah rumah yang kini jadi pusat turisme. Di rumah itu pula Paulus menulis Injil.

Saya pernah ke rumah ini –dua tahun lalu.

Sedang kota di dekat San Francisco itu diberi nama Antioch juga karena sejarah itu. Di Antioch ini pengikut Yesus mengonsolidasikan diri. Di situ pula para pengikut Yesus mulai menyebut diri mereka sebagai orang Kristen.

Sampai kemarin belum ada kota lain yang ingin mengikuti jejak wali kota Antioch. Meminta maaf, meskipun tidak perlu anggaran, kelihatannya juga tidak mudah. Justru yang anggarannya besar yang semua orang ingin melakukannya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait