Reaktor nuklirnya sendiri sebenarnya tidak apa-apa. Kuat. Tapi pemasok listrik cadangannya terkena tsunami.
Harusnya ''genset'' itu diletakkan di tempat yang tinggi –sebagai antisipasi tsunami yang di luar perhitungan.
Memang, kecelakaan nuklir sangat mengerikan.
Biar pun tidak ada yang meninggal akibat kecelakaan nuklir di Fukushima. Memang belakangan ada satu orang yang meninggal.
Di tahun 2018 - -tujuh tahun setelah kecelakaan Fukushima. Orang itu meninggal karena sakit paru.
Lalu dicarikan hubungannya dengan Fukushima. Ketemu.
Diindikasikan sakitnya itu akibat terpapar radiasi. Lalu orang-orang yang meninggal setelah itu juga dikaitkan dengan radiasi Fukushima.
Pun kalau saya kelak meninggal dunia: jangan-jangan juga karena saya pernah ke kawasan PLTN Fukushima setelah kecelakaan itu terjadi.
Debat penyebab kematian itu bisa panjang. Tapi dampak kekurangan listrik akan lebih panjang.
Maka keputusan menghidupkan kembali pembangkit nuklir terpaksa dilakukan.
Pemerintah sudah memeriksa ulang kesehatan pembangkit itu. Berulang-ulang. Selama 11 tahun terakhir.
Jepang telah menjadi kenyataan baru bahwa renewable energi belum bisa banyak berbuat.
Belum lagi kalau dilihat dari kenaikan harga batu bara: tiga kali lipat.
Bagaimana bisa bahan bakar yang dihujat habis-habisan itu justru kian jadi rebutan. Termasuk di negara yang begitu getol mempersoalkan sisi buruk batu bara.
Kian disadari bahwa tenaga angin sulit diandalkan: angin-anginan.
Kadang angin terlalu kencang –merusak kincir. Lebih sering lagi: tidak ada angin.