
RAKYATBENGKULU.COM – Musim kemarau 2025 tak berjalan seperti biasanya.
Meski secara klimatologis Indonesia telah memasuki musim kering, curah hujan justru masih tinggi di berbagai wilayah.
Kondisi ini menjadi perhatian serius Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), terutama terkait dampaknya terhadap sektor pertanian.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi akibat anomali iklim yang menyebabkan hujan turun di luar musimnya.
BACA JUGA:Benfica Bangkit! Kalahkan Auckland 6-0, Puncaki Grup C Piala Dunia Antarklub
BACA JUGA:Rejang Lebong Mandiri Tangkal Rabies, Siapkan 5.000 Dosis Vaksin
“Ini berkah sekaligus tantangan. Untuk petani padi, kondisi ini bisa membantu karena pasokan air irigasi tetap tersedia. Tapi untuk hortikultura, kelembapan tinggi bisa menjadi masalah serius,” ungkap Dwikorita, Sabtu (21/6), dikutip dari AntaraNews.com.
Tanaman hortikultura seperti cabai, bawang, dan tomat sangat sensitif terhadap kelembapan berlebih.
Serangan hama dan penyakit menjadi lebih mudah terjadi, sehingga produksi bisa terganggu.
“Kami mendorong petani hortikultura menyiapkan sistem drainase yang baik dan memperkuat proteksi tanaman. Jangan sampai curah hujan tinggi justru menyebabkan gagal panen,” tambahnya.
BACA JUGA:Ancaman Stunting Masih Tinggi, Lebong Fokus Perkuat Posyandu dan Edukasi Keluarga
BMKG memprediksi bahwa musim kemarau tahun ini akan berlangsung lebih singkat namun tetap disertai fluktuasi hujan tinggi hingga Oktober 2025, terutama di wilayah selatan Indonesia.
Kondisi ini, jika tidak diantisipasi dengan strategi pertanian adaptif, bisa berdampak buruk terhadap produksi pangan nasional, pasokan air, dan stabilitas ekonomi desa.
Oleh karena itu, Dwikorita menegaskan pentingnya informasi cuaca dan iklim dijadikan acuan dalam perencanaan pertanian.