Spesies seperti ikan mungkus, pelus (sidat), semah (masher) dan palau sudah jarang terlihat di perairan alami.
Kondisi ini disebut sebagai akibat langsung dari praktik penangkapan yang tidak bertanggung jawab.
Selain menyengsarakan generasi mendatang, kegiatan tersebut juga mempercepat kepunahan biota air lokal yang memiliki nilai ekologis dan ekonomis tinggi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kaur, Ifrianto, SE, mengakui bahwa praktik ilegal itu masih banyak ditemukan di lapangan, terutama penggunaan setrum.
“Penggunaan setrum yang masih sangat banyak, kalau yang menggunakan racun sudah cukup berkurang,” ungkapnya.
BACA JUGA:Dinkes Mukomuko Tunggu Petunjuk Kemenkes Terkait Pengaturan Penggunaan Vape
BACA JUGA:Ditlantas Polda Bengkulu Gaungkan Polantas Menyapa, Wujud Pelayanan Humanis untuk Wajib Pajak
Ifrianto menjelaskan, tindakan tersebut jelas melanggar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tepatnya Pasal 85 jo Pasal 9, karena menggunakan aliran listrik yang bisa membunuh bibit ikan dan merusak populasi jangka panjang.
“Ada undang-undang yang mengatur, kalau kedapatan itu bisa dipidanakan,” sampainya.
Selain penegakan hukum, pemerintah daerah juga mengimbau warga agar sadar akan bahaya dari aktivitas ilegal tersebut.
“Mari sama-sama kita jaga perairan di Kaur, agar nanti anak cucu juga bisa menikmati kekayaan biota perairan di Kaur,” imbau Ifrianto.
Upaya pelestarian ini bukan sekadar menjaga alam, tetapi juga memastikan keberlanjutan ekonomi masyarakat yang bergantung pada sumber daya perairan.
Pemerintah berharap kolaborasi antara aparat, dinas terkait, dan masyarakat bisa mengembalikan kejernihan sungai Kaur yang mulai tercemar praktik setrum dan racun.