HONDA

Dikapling Izin Ekstraktif, 45 Persen Hutan Bengkulu Rusak

Dikapling Izin Ekstraktif, 45 Persen Hutan Bengkulu Rusak

BENGKULU – Laju kerusakan hutan Bengkulu sulit dibendung. Saat ini dari luasan 924 ribu hektare, seluas 410.843 hektare atau 45 persen hutan Bengkulu di bentang Bukit Barisan mengalami kerusakan. Kerusakan hutan ini akibat industri ekstraktif disebabkan aktivitas perusahaan tambang, perkebunan kelapa sawit, geothermal, maupun Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Hutan Alam (IUPHHK-HA). Selain itu masih ada 53.000 hutan Bukit Barisan yang juga akan dilepaskan. Kondisi ini dinilai mengkhawatirkan. Keberadaan bentang alam Bukit Barisan sebagai “tulang punggung” Pulau Sumatera sepanjang 1.650 km dari ujung Aceh hingga Lampung, sangat penting. Jika rusak, bencana alam yang memakan korban jiwa manusia dan satwa bisa terjadi. Data tersebut merupakan hasil analisis dan investigasi Yayasan Genesis yang dibeberkan Egi Ade Saputra pada diskusi publik bertajuk Bukit Barisan Antara Sumber Kehidupan dan Bayang-Bayang Ancaman Ekologis. Diskusi berlangsung di TWA Mangrove Badrika, Kamis (28/1). Selain Egi Ade Saputra dari Genesis, diskusi publik ini menghadirkan sejumlah narasumber yang dari berbagai perspektif. Yakni tentang Fungsi Hutan Bentang Alam Bukit Barisan, Hutan Pesisir dan Perubahan Iklim oleh dosen Kehutanan Universitas Bengkulu Yansen, S.Hut, M.App, Sc, Ph.D, Ancaman Bencana oleh Anang Anwar dari BMKG, Konflik Satwa dan Manusia oleh Yanti Musibine dari BKSDA Bengkulu. Lalu ada paparan mengenai Hutan dari Perspektif Perempuan, Sosial dan Ekonomioleh Rita Wati dari KPPL Maju Bersama Desa Pal VIII Rejang Lebong, serta Hutan Dimata Anak Muda oleh Yesi Oktriani. Menurut Egi, kondisi saat ini ada 3.454 hektare perkebunan sawit berskala besar yang beraktivitas di kawasan hutan. Kelima perusahaan tersebut yakni PT. Agromuko yang beraktivitas di Hutan Produksi Konversi (HPK) Air Manjunto seluas 1.215 hektare, PT. Alno Agro Utama seluas 232 hektare di kawasan HPT Air Ipuh I dan HPT Lebong Kandis seluas 236 hektare. Selain itu ada PT. Mitra Puding Mas beraktivitas di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) sebelat seluas 131 hektare. Sisanya kawasan hutan digarap PT. Sandabi Indah Lestari dan PT. Daria Dharma Pratama. “Di Provinsi Bengkulu saat ini ada 34 izin HGU perkebunan dengan jumlah luasan mencapai 104.899 hektare. Lalu ada 28 unit pabrik Crude Palm Oil (CPO) dan 3 unit pabrik karet,” kata Egi. Di sektor pertambangan, saat ini ada 48 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan jumlah luasan 109.539 hektare. Terdiri dari 19 izin batubara, 3 izin tambang emas, 2 izin tambang pasir besi, 3 izin sirtu, 14 izin pasir dan baru, 6 izin pasir dan 1 izin pasir laut. Namun sama halnya dengan perusahaan kelapa sawit. Rupanya ada 11 perusahaan tambang yang merambah kawasan hutan hingga 97.555 hektare. Kesebelas perusahaan itu yakni PT. Inmas Abadi, PT. Bara Mega Quantum, PT. Danau Mas Hitam. PT. Ratu Samban Mining, PT. Inti Bara Perdana, PT. Kesuma Raya Utama, PT. Bara Indah Lestari, PT. Bumi Arya Syam dan Syah Resource, PT. Energi Swa Dinamika Muda, PT. Bengkulu Utara Gold dan PT. Perisai Prima Utama. “Dampak dari pertambangan, terdapat 127 lubang tambang seluas 157 hektare. Dimana ada 17 lubang milik 5 perusahaan diantaranya yang belum direklamasi. Padahal perusahaan sudah habis masa operasinya sejak Desember 2020. Yang menjadi pertanyaan, kemana perginya dana jaminan reklamasi?” kritik Egi. Aktivitas geothermal di kawasan yang membentang di 3 kabupaten yakni Bengkulu Utara, Lebong dan Rejang Lebong, juga jadi sorotan. Dari total luas izin 289.300 hektare, seluas 245.834 masuk wilayah Provinsi Bengkulu. Sisanya masuk Provinsi Sumatera Selatan. Izin eksplorasi wilayah panas bumi (WKP) berda di atas 8 kawasan hutan Provinsi Bengkulu. Yakni Taman Nasional Kerinci Sebelat, TWA Danau Tes, Cagar Alam (CA) Danau Menghijau, Hutan Lindung (HL) Rimbo Penghadang, HL Bukit Daun, HPT Bukit Kaba, HPT Air Ketahun dan HPK Air Bintunan. Dampak Kerusakan Hutan Dosen Kehutanan Unib Yansen mengatakan, hutan dan iklim saling berkaitan dan berinteraksi. Keberadaan hutan mempengaruhi iklim. Semakin banyak wilayah tutupan hutan, regulasi dari siklus hidrologi dan siklus karbon juga semakin baik. “Apabila tutupan hutan baik, ketika curah hujan tinggi maka hutan bisa menjalankan regulasi penyerapan dan penguapan air dengan cepat. Kalau hutan rusak, siklus air jadi terganggu. Inilah yang menyebabkan banjir,” kata Yansen. Ia menambahkan, kerusakan hutan di bentang alam Bukit Barisan bukan hanya menjadi ancaman bencana bagi manusia. Tapi juga satwa yang ada di dalamnya. Terutama harimau dan gajah Sumatera yang populasinya terus berkurang. Sekadar diketahui, berdasarkan data Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi Bengkulu Tahun 2014-2033, dari luas cagar alam sebesar 4.300 Ha, hanya tinggal sekitar 31% yang masih merupakan hutan. Ini pun hanya dalam bentuk hutan sekunder. Tutupan sisanya sudah berupa non hutan. Sedangkan tutupan hutan taman wisata alam hanya tinggal sekitar 33%. Kawasan hutan lindung yang tutupannya masih berupa hutan primer adalah sekitar 42% dan berbentuk hutan sekunder sebesar 33%. Artinya luas hutan lindung yang tutupannya bukan hutan mencapai hampir 25% dari 250.750 Ha. Sedangkan hutan produksi tetap yang berupa hutan primer tinggal sekitar 13% dan hutan sekunder sebesar 52%. Hutan produksi terbatas telah kehilangan tutupan hutan 50% dengan menyisakan 10% area hutan primer dan 40% hutan sekunder (data diolah dari Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan, 2011). Dorong Pemprov Tinjau Perizinan Direktur Yayasan Genesis Bengkulu Uli Arta Siagian mengatakan, investigasi dan penghimpunan data kerusakan hutan akibat aktivitas perusahaan ekstraktif dilakukan kurun 2 tahun terakhir. Tepatnya sejak tahun 2019 hingga 2020. Analisis data bersumber dari data sekunder yang berbasis data pemerintah, juga survei langsung ke lapangan. Dari diskusi publik ini Yayasan Genesis berharap ada transformasi pengetahuan. Publik jadi lebih paham. Minimal masyarakat Bengkulu mengetahui bahwa mereka hidup di wilayah yang rentan bencana. “Bencana bisa terjadi kapan saja. Tapi bukan terjadi begitu saja. Bencana akan terjadi tergantung bagaimana cara kita memperlakukan lingkungan,” kata Uli. Hasil diskusi ini juga ditujukan kepada para pengambil kebijakan. Genesis mendesak Pemprov Bengkulu mengambil kebijakan program pembangunan yang meletakkan keselamatan rakyat sebagai dasar. “Pemerintah harus mempertimbangkan pembangunan dengan kerentanan wilayah,” ujarnya. Genesis juga tidak ingin kawasan penting seperti Bukit Barisan menjadi sasaran ekspansi industri ekstraktif. Paling tidak jika pemerintah tidak berani mencabut izin tambang atau perusahaan, setidaknya pemerintah tidak menerbitkan izin baru. Terutama di wilayah rentan seperti bentang alam Bukit Barisan. Tahun 2020, Genesis sudah membuat lokakarya dengan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menyampaikan beberapa aktivitas perkebunan di kawasan hutan. Karena itu menjadi salah satu usulan gubernur untuk pelepasan kawasan hutan untuk 5 perkebunan kelapa sawit. Sayangnya meski sudah menyampaikan protes, namun pemerintah provinsi masih tetap memproses pelepasan kawasan hutan untuk lima perkebunan. “Terus terang kami kecewa akan hal itu,” ungkap Uli. (ken)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: