Implementasi Waktu Imsak
SEBAGAIMANA telah dimaklumi Bersama bahwa dalam jadwal waktu shalat di bulan Ramadhan dicantumkan waktu Imsak. Bahkan waktu imsak mendominasi jadwal tersebut sehingga sering disebut dengan Jadwal Imsakiyah. Pada umumnya, waktu Imsak diambil 10 menit sebelum waktu Subuh. Jika waktu Subuh dalam jadwal tertulis 04.50 WIB, maka waktu imsak jatuh pada pukul 04.40 WIB. Ada beberapa problematika yang muncul di masyarakat terkait waktu Imsak. Pertama, apakah batas tidak boleh makan atau minum itu saat imsak atau saat Subuh? Kedua, bagaimana hukum makan sahur setelah imsak? Bagaimana hukum meneruskan makan sahur Ketika terdengar azan, karena ada teks Hadis yang menjelaskan kebolehannya.
Secara bahasa, imsak berarti menahan. Adapun secara istilah, imsak dimaknai sesuai dengan konteks kata itu digunakan. Dalam konteks puasa, imsak berarti menahan dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar shadiq (subuh) hingga terbenam matahari. Definisi pertama ini termasuk rukun puasa itu sendiri. Sedangkan dalam konteks “waktu imsak”, ia diartikan sebagai menghentikan makan sahur dalam rangka mempersiapkan diri untuk puasa (imsak) sesungguhnya. Arti kedua ini tidak termasuk rukun puasa, artinya pada saat waktu imsak tiba, seseorang belum memulai puasanya pada hari tersebut.
Redaksi waktu imsak sendiri tidak diinformasikan secara langsung oleh Rasulullah SAW, namun ia merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memberi nama terhadap perintah Rasulullah SAW untuk memberi jeda antara sahur dan azan subuh kurang lebih selama membaca 50 ayat al-Quran (kurang lebih 10 menit). Ini artinya Rasulullah memerintahkan bersiap-siap dahulu untuk menyambut puasa dengan cara tidak makan dan sahur saat detik-detik menjelang azan. Jeda yang diisyaratkan Rasulullah SAW dalam bentuk ini kemudian oleh para ulama disebut dengan waktu imsak.
Jadi batas tidak boleh makan itu pada saat waktu imsak atau waktu Subuh? Berdasarkan penjelasan di atas bisa dipahami bahwa batas mengawali puasa adalah waktu terbitnya fajar shadiq, yaitu waktu Subuh. Sehingga hukum makan sahur setelah imsak pada dasarnya diperbolehkan asalkan belum terbit fajar. Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 187, “makan dan minumlah hingga telah jelas bagi kalian benang putih dan benang hitam dari cahaya fajar”. Berdasarkan ayat ini, puasa dimulai Ketika terbit benang putih (cahaya fajar) di ufuk sebelah timur yang membentang dari utara ke selatan.
Namun ada problem dalam menerapkan ayat tersebut. Problemnya adalah waktu awal munculnya fajar itu sesuatu yang sulit ditentukan bagi orang yang berpuasa. Sebelum adanya jam dan perhitungan waktu salat, munculnya fajar dahulu ditentukan dengan mengamati fenomena astronomi berupa cahaya yang memanjang dari utara ke selatan di langit ufuk timur. Ini adalah hal yang sulit. Maka untuk berhati-hati agar tidak terlewat terbitnya fajar shadiq, Nabi memerintahkan untuk memberi jeda sebagaimana disebut di atas. Fungsinya adalah untuk ihtiyath (kehati-hatian). Sebab jika terlewat hingga masuk fajar shadiq sedangkan seseorang masih dalam kondisi makan, ini akan membatalkan puasanya. Dalam hal ini berlaku kaidah “sesuatu yang kewajiban tidak akan sempurna dengannya maka hukumnya juga wajib”. Kewajiban puasa tidak akan sempurna jika tanpa imsak, maka imsak (memberi jeda antara sahur dan subuh) hukumnya menjadi wajib. Hal ini sebagaimana wajib membasuh bagian lengan tangan di atas siku agar kewajiban membasuh siku saat wudhu terpenuhi.
Lalu bagaimana dengan kondisi saat ini ketika sudah tersedia jam dan perhitungan yang presisi terhadap fenomena-fenomena astronomis waktu shalat, termasuk terbitnya fajar? Yang paling utama adalah meninggalkan makan dan minum di waktu imsak, meskipun itu tidak wajib. Ada dua alasan dipilihnya pendapat ini, pertama karena mengamalkan sunnah Rasulullah SAW untuk memberi jeda. Kedua karena jadwal waktu yang tertulis di jadwal waktu salat sudah dilebihkan 2 menit dari waktu asalnya, dalam rangka kehati-hatian agar waktu salat diyakinkan telah masuk dan agar jadwal dapat digunakan di kawasan yang lebih luas seperti 1 kota atau kabupaten.
Sebagai contoh, waktu Subuh tertera pukul 04.52, maka pada pukul 04.50 sebenarnya sudah terbit fajar. Artinya, jika seseorang masih makan sahur pukul 04.50 maka hal itu bisa membatalkan puasanya. Lebih mengkhawatirkan lagi jika berhentinya makan sahur menunggu azan Subuh, sebab azan dikumandangkan pada umumnya melewati waktu yang tertera di jadwal waktu salat. Lalu bagaimana hadis Riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah ,”Jika salah satu di antara kalian mendengar Azan sedangkan gelas masih ada di tangannya, maka janganlah ia menaruh gelas itu sebelum ia meminum air yang ada di dalamnya”.
Menurut Imam al-Baihaqi bahwa yang dimaksud azan tersebut adalah azan awal sebelum fajar yang dikumandangkan Bilal ra, sedangkan azan kedua saat subuh dikumandangkan oleh Abdullah Ibn Ummi Maktum ra. Sehingga jika seseorang mendengar azan dalam konteks saat ini, dan dia masih dalam keadaan makan, dapat dipastikan ia telah melewati waktu terbit fajar, yang berakibat puasanya batal. Berbeda hukumnya jika waktu terbit fajar telah tiba (bukan azan), berarti 2 menit sebelum waktu di jadwal yang tertera, sedangkan di dalam mulutnya masih ada makanan, maka wajib ia memuntahkan dan puasanya sah. (Referensi: Is’af Ahl al-Iman Bi Wadhaif Ramadhan) Oleh Badrun Tamam. Penulis merupakan dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: