HONDA

Belum Setahun Nyaris 100 SE Dikeluarkan, Pengamat: Masyarakat Makin Bingung

Belum Setahun Nyaris 100 SE Dikeluarkan, Pengamat: Masyarakat Makin Bingung

 

rakyatbengkulu.com, NASIONAL - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kembali mengeluarkan empat setel Surat Edaran (SE) yang memuat aturan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) teranyar  di empat moda transportasi, (2/11).

SE-SE tersebut diterbitkan menyusul kembali diubahnya kebijakan PPDN yang memuat bolehnya tes PCR dan Antigen sebagai syarat perjalanan udara serta kewajiban baru tes PCR/Antigen bagi transportasi darat.

 “Keempat SE Kemenhub ini diterbitkan merujuk pada terbitnya Instruksi mendagri (Inmendagri) Nomor 57 Tahun 2021 dan SE Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 22 Tahun 2021,” kata Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati.

Keempat SE Kemenhub tersebut yakni SE Kemenhub Nomor 94 Tahun 2021 tentang petunjuk PPDN untuk transportasi darat. SE Kemenhub Nomor 95 Tahun 2021 tentang petunjuk PPDN transportasi laut, SE Kemenhub Nomor 96 Tahun 2021 untuk transportasi udara, serta SE Kemenhub Nomor 97 Tahun 2021 untuk transportasi perkeretaapian.

BACA JUGA: Penumpang Pesawat Kini Boleh Antigen

Adita mengatakan, Keempat SE ini terbit pada Selasa, 2 November 2021, menggantikan empat SE sebelumnya yaitu SE Nomor 86 dan perubahannya SE No. 90, SE 87 dan perubahannya SE No. 91, SE No. 88 dan perubahannya SE No. 93, serta SE No. 89 dan perubahannya SE No. 92 Tahun 2021.

”Kesemuanya sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” jelas Adita.

Dengan terbitnya SE Nomor 97 Tahun 2021 ini, Kemenhub total telah mengeluarkan nyaris 100 SE dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.

Belum terhitung SE pengaturan PPDN yang diterbitkan pada tahun 2020. Banyaknya SE tersebut juga dikontribusikan oleh faktor seringnya pemerintah melakukan adendum dan perubahan terhadap aturan yang menaungi SE ini, yakni SE Kepala Satgas Covid-19, serta Inmendagri yang selalu berubah hampir setiap minggunya.

Menurut Pakar Kebijakan Publik Agus Pambagio, tren gonta-ganti aturan ini tidak baik karena bisa membingungkan masyarakat. Ia sendiri mengaku sampai saat ini belum bisa sepenuhnya mengikuti perubahan demi perubahan aturan tersebut. “Jangankan anda sebagai wartawan, saya saja pengamat kebijakan publik pun bingung,” katanya pada Jawa Pos (2/11)

Menurut Agus yang menjadi korban dari bongkar pasang peraturan ini adalah masyarakat di bawah serta para penegak hukum. Kedua belah pihak kerap terlibat gesekan hanya gara-gara peraturan yang berganti.

“Aturan yang berubah-ubah membingungkan publik, juga para pelaksana di lapangan personil Polisi dan TNI,” jelas Agus.

Pada dasarnya, Agus melanjutkan, kebijakan muncul setelah ada aturan yang menaungi. Pembuatan aturan kata dia harus merujuk pada petunjuk UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam aturan tersebut ada hirarki aturan mulai yang tertinggi UUD 1945, kemudian TAP MPR, UU atau Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, sampai pada Peraturan Daerah tingkat 1 maupun tingkat dua.

“Masalahnya, dalam hierarki tersebut, tidak ada yang namanya Surat Edaran atau SE,” tegas Agus.

Ia melanjutkan, bahwa SE sejatinya digunakan sebagai anjuran internal sebuah lembaga. Agus mencontohkan seorang kepala sekolah yang memerintahkan agar kegiatan belajar mengajar dimulai pada hari A.

“SE itu kalau di sekolah seperti majalah dinding. Isinya pengumuman,” jelasnya.

Konsekuensinya, kata Agus, SE tidak memiliki kekuatan hukum tetap. “Karena tidak berkekuatan hukum, maka melanggar SE itu tidak apa-apa. Saya heran di setiap kementerian itu kan ada biro Hukum, kenapa diam saja?” tanya Agus.

Senada menurut Dosen dan Peneliti Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Herlambang Wiratraman, SE harusnya hanya ditujukan pada internal sebuah lembaga. “Itu hanya internal. Bukan pula aturan, tidak mengikat pihak luar (lembaga tersebut,Red)” jelas Herlambang.

Masyarakat Bingung

Kebingungan juga dirasakan oleh anggota masyarakat. Misalnya saja Gan Rosyidi Magsi, seorang warga jawa tengah saat melakukan penerbangan dari Semarang ke Bengkulu, (2/11).

Berbekal pemberitaan di media, Rosyidi yang sudah melaksanakan vaksinasi dosis dua hanya membawa hasil tes antigen dan bukti vaksinasi saat tiba di Bandara Ahmad Yani Semarang.

Namun oleh petugas, Rosyidi ditolak oleh petugas. Alasannya, petugas belum mendapatkan sosialisasi atas aturan yang baru. “Setelah sampai bandara, petugas KKP merasa aturan belum jelas,” ujarnya kepada Jawa Pos.

Tak puas dengan penolakan tersebut, Rosyidi sempat menunjukkan bukti dokumen seperti Surat Edaran Satgas soal aturan perjalanan hingga pemberitaan.

Namun lagi-lagi, petugas masih bergeming. “Alasannya tidak ada aturan yang sampai ke mereka,” imbuhnya.

Karena terdesak kebutuhan, Rosyidi akhirnya menggunakan jasa PCR yang banyak tersedia di sekitaran bandara.Berdasarkan pantauannya, jasa PCR di bandara menawarkan harga variatif mulai dari Rp. 275 ribu hingga Rp 1,5 juta bergantung dengan durasi waktunya.

Rosyidi curiga, peraturan tersebut belum diubah di lapangan akibat kepentingan bisnis.

BACA JUGA: Pasien Covid-19 di RSUD Habis, Kasus Aktif Tinggal 5 Orang

Selain itu, dia juga menyoroti fungsi koordinasi antar lembaga. Pasalnya, cukup ironis jika kebijakan yang diambil pusat tidak terinformasikan dengan baik di lapangan.

Menurut Bivitri Susanti, Pakar Hukum dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Jakarta, SE secara teoritik memang tidak termasuk peraturan perundang-undangan.

Tetapi dalam praktiknya SE sering dipakai dalam berbagai pengaturan. Seperti Surat Edaran Mahkamah Agung yang sering mengatur hukum acara.

”Secara teoretik dia istilahnya peraturan kebijakan atau Beleidsregel. Tapi memang dalam praktik ya sering dipakai seperti ini,” jelas Bivitri.

Kendati demikian, kata Bivitri, melihat aturan PPDN sebagai sebuah kebijakan, memang terlalu sering berganti-ganti dan membuat bingung.

Ini menunjukkan kata Bivitri tidak adanya basis data dalam mengambil kebijakan. ”Kalau pemerintah mengambil kebijakan benar-benar berdasarkan sains dan data, bukan untuk kepentingan sekelompok orang saja, serta terkoordinasi dengan baik, ini seharusnya tidak terjadi,” paparnya. Baca Selanjutnya>>>

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: