Negara Abai, Petani Mukomuko Sibuk Berurusan dengan Hukum
MUKOMUKO, rakyatbengkulu.com - Dua orang petani Darmin dan Suharto kembali mendapatkan surat permintaan klarifkasi atas kisruh penguasaan lahan. Suharto sebagaimana yang tertuang dalam surat permintaan klarifikasi Polres Mukomuko dimintai keterangan sehubungan dengan adanya kegiatan yang secara tidak sah menggunakan, menguasai, mengerjakan dana atau menduduki lahan usaha perkebunan serta memanen dan atau memungut hasil perkebunan di dalam lokasi HGU PT BBS area 1 diivis 6 Blok T. 16.
Sementara Darmin dipanggil dengan adanya kegiatan yang sama namun dengan perusahaan yang berbeda yakni PT Daria Dharma Pratama (DDP). Perlu diketahui bahwa Darmin, menggarap lahan tersebut sejak tahun 1986.
Beberapa kali pihak PT BBS maupun PT DDP berusaha untuk mengambil lahan tersebut. Namun sampai dengan sekarang ini tanah seluas 23 ha yang dikelolanya tidak pernah ada kesepakatan diserahkan ke pihak manapun.
Sementara Suharto menggarap lahan terlantar. Dia menuturkan bahwa lahan yang digarapnya tersebut sudah sangat lama terlantar dengan kondisi tidak terawat, berupa semak belukar.
Darmin, telah beberapa kali dimintai keterangan oleh aparat kepolisian terhadap beberapa laporan dengan kasus yang sama. Sementara Suharto baru kali ini mendapat panggilan dari pihak kepolisian.
Keduanya dipanggil penyidik Polres Mukomuko dengan tujuan memberikan keterangan klarifikasi atas tindakan yang diduga bertentangan dengan UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.
Perlu disampaikan, PT BBS sudah tidak beraktivitas sejak tahun 1997. Sejak saat itu, warga mulai masuk untuk menggarap HGU yang telah ditelantarkan oleh PT BBS.
Sejak tahun 2006 barulah PT DDP hadir dengan menyatakan bahwa mereka telah membeli HGU PT BBS lalu sejak saat itu, konflik mulai terjadi antara PT DDP dan warga yang menggarap lahan bekas HGU PT BBS tersebut sampai saat ini.
Darmin menyatakan, panggilan terhadap dirinya telah terjadi berulang kali. Ini menunjukkan bahwa tidak ada niat baik berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya dan ratusan petani lainnya di atas bekas HGU PT.BBS.
“Perlu saya tegaskan, sejak tahun 2014 pihak perusahaan telah menyatakan bahwa lahan yang saya garap dan kuasai tersebut tidak boleh digarap oleh perusahaan PT DDP,” kata Darmin saat memenuhi panggilan di Polres Mukomuko, Jumat (27/5).
Sementara Suharto menyatakan tanah yang digarapnya adalah tanah yang tidak produktif karena ditelantarkan oleh perusahaan yang telah mendapatkan izin berupa HGU.
Penelantaran lahan adalah perbuatan yang merugikan negara dan seharusnya negara melakukan evaluasi dan mencabut HGU yang sudah terlantar tersebut. “Saya merawat lahan tersebut karena tidak ada yang merawat dan selama saya merawat tidak ada pihak yang berkeberatan. Sampai dengan adanya pengakuan secara sepihak oleh PT DDP,” kata Suharto.
Saman Lating selaku Ketua Tim Kuasa Hukum yang beranggotakan 5 orang menyatakan bahwa klaim PT DDP di atas bekas HGU PT BBS yang terlantar sampai hari ini tidak dapat menunjukkan kepada para petani sehingga permasalahan yang terjadi di lapangan menjadi berlarut-larut.
"Pemerintah daerah sebagai pemilik wilayah dan pihak-pihak terkait seharusnya mengambil tindakan cepat dalam menyelesaikan permasalahan tersebut," kata Lating.
Agar masyarakat, lanjutnya, tidak selalu dihadapkan dengan hukum dan aparat penegak hukum seperti yang dialami oleh Darmin yang sejak tahun 2014 dilaporkan dan dipanggil berulang kali tanpa ada kejelasan.
"Kini dipanggil lagi terkait objek yang sama dengan laporan yang baru,” ujar Lating.
Intinya, jika konflik terus menerus terjadi, maka negara harus bertanggung jawab atas situasi ini, negara yang tidak hadir akan membuat situasi semakin runcing dan yang akan menjadi korban dari konflik tersebut adalah masyarakat. (rls)
Kronologis Konflik Agraria di Malin Deman
Ratusan kepala keluarga yang berasal dari tiga kecamatan ( Malin Deman, Air Rami dan Mukomuko Selatan) telah menggarap lahan bekas HGU PT BBS sejak tahun 1997.
Selama sembilan tahun rakyat menyandarkan penghidupannya dari lahan tersebut lalu masalah muncul sejak 2006 ketika PT DDP menyatakan telah menguasai lahan bekas HGU PT BBS tersebut.
Sejak saat itu juga, warga diiming-imingi kompensasi, diintimidasi untuk meninggalkan lahan garapan dan perusahaan mulai melakukan penanaman.
Sejak tahun 2012 lahan garapan petani yang menolak untuk diganti rugi tetap digusur paksa oleh perusahaan. Petani tidak hanya diam, akan tetapi langsung melaporkan ke DPRD Mukomuko.
Sehingga DPRD memanggil manajemen PT DDP, BPN dan Dinas Perkebunan. Pada pertemuan tersebut pihak PT DDP tidak bisa menjelaskan dasar mereka menguasai lahan eks HGU PT BBS tersebut.
Pada tahun 2016 Gatot Teja dari BPN Kabupaten Mukomuko menyampaikan bahwa HGU PT BBS masih tetap dengan nama PT BBS dan terindikasi terlantar.
Di waktu yang sama Dinas Perkebunan Kabupaten Mukomuko menjelaskan bahwa PT BBS dengan komoditi kakao dan bukan sawit, juga tidak mengetahui adanya izin PT DDP di atas PT BBS.
Kemudian, tahun 2017 Komisi I DPRD Kabupaten Mukomuko memfasilitasi hearing dengan PT DDP. Dalam rapat itu Ketua DPRD menyatakan bahwa PT DDP menguasai lahan eks PT BBS dengan tidak memiliki izin pengalihan komoditi, melakukan ganti rugi tidak sesuai dengan aturan sehingga merugikan warga, tidak memiliki legalitas formal yang sah secara hukum hingga menyebabkan ada kerugian daerah dan negara.
Lalu DPRD membentuk panitia khusus (Pansus) guna menemukan fakta-fakta PT DDP di atas lahan eks PT BBS, dan hasil rekomendasi Pansus bentukan DPRD Kabupaten Mukomuko tidak satupun djalankan.
Kemudian tahun 2018 Dinas Perizinan Kabupaten Mukomuko menerbitkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT DDP di atas lahan eks PT BBS, sehingga kepala desa di lima desa yakni Talang Arah, Talang Baru, Air Merah, Serambi Baru, dan Lubuk Talang menyatakan bahwa tidak pernah memberikan rekomendasi terhadap PT DDP dan PT BBS di atas lahan eks PT BBS.
Selanjutnya, masyarakat lima desa menghadap Bupati Mukomuko dan mempertanyakan dasar pemda mengeluarkan IUP PT DDP di atas lahan eks PT BBS, sedangkan tidak satupun rekomendasi pansus bentukan DPRD sudah dijalankan.
Sementara masyarakat penggarap lahan yang ditelantarkan PT BBS juga masih menguasai lahan, menunggu kepastian hukum dengan mengurusi legalitas garapan dan merawat seluruh tanaman di atas lahan garapan tanpa adanya gangguan dari pihak manapun.
Hingga, Maret 2022 empat belas rumah warga yang sudah menguasai lahan dibakar oleh petugas keamanan perusahaan PT DDP, sehingga terjadi kembali adu mulut antara petugas keamanan perusahaan dengan warga yang sedang merawat tanaman mereka di lahan tersebut.
Sampai dengan hari ini,sudah puluhan orang ditangkap dan diproses hukum karena tidak adanya kejelasan pemerintah menyelesaikan masalah di lahan eks PT BBS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: