HONDA

Hari Santri dan PR Santri di Era Digital

Hari Santri dan PR Santri di Era Digital

Hari santri dan PR santri di era digital.--ANTARA

Kedua fatwa itu disampaikan secara berbeda. Fatwa jihad disiarkan dari surau ke surau atau dari pesantren ke pesantren, sedangkan resolusi disiarkan lewat media yakni Kantor Berita ANTARA (25/10), Surat Kabar Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (26/10), dan Berita Indonesia Jakarta (27/10).

Perlawanan pun terjadi hingga Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh pada 30 Oktober 1945 dan Sekutu pun marah.  Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat menyerah tanpa syarat pada 10 November 1945 pukul 06.00 WIB, namun 9 November 1945 justru terjadi gerakan massa santri ke Surabaya (pasca Fatwa Jihad).

BACA JUGA:Mengatasi FOMO di Era Media Sosial dengan Mudah

BACA JUGA:Daftar Lengkap Cabang BRI yang Buka Layanan Weekend Banking

Dokumen Resolusi/Fatwa Jihad dan Gedung HBNO di Surabaya yang menjadi lokasi penetapan resolusi itu  menjadi bukti bahwa apresiasi negara berupa Hari Santri itu benar-benar berbasis bukti historis.

Perang digital

Kini, kaum santri yang sudah diapresiasi negara sejak 2015 itu menghadapi "perang" yang jauh berbeda dari era 1945. Dunia pesantren/masjid saat ini justru bukan lagi menghadapi "perang fisik", melainkan "perang non-fisik" alias "perang digital".

Perang digital itu justru menyodorkan dua tantangan "bermata dua" yakni digitalisasi dan radikalisasi. Digitalisasi juga ibarat "dua pisau" yakni digitalisasi "teknis" dan digitalisasi "jebakan".

Secara teknis, digitalisasi harus disikapi kaum santri dengan manajemen digital di pesantren/masjid, yakni pemanfaatan akun medsos untuk dakwah (YouTube, podcast, instagram, TikTok, AI, dan sebagainya) dan juga aksi sosial, seperti menggalang dana/zakat/sedekah dengan QRIS.

BACA JUGA:Mantap! Nikmati Keleluasaan Transaksi dengan Kenaikan Limit BRI, Berlaku per 29 November 2024

BACA JUGA:Kenali Tanda-Tanda Kecemasan Sosial di Zaman Digital dan Cara Mengatasinya

Namun, Guru Besar UINSA Surabaya Prof Nursyam menilai manfaat digitalisasi yang bisa dimaksimalkan untuk dakwah itu tetap harus diwaspadai dalam konteks ijtimaiyah/kemasyarakatan, karena pemanfaatan digitalisasi di tangan manusia yang kriminal/atheis juga bahaya.

"Digitalisasi untuk dakwah antara lain dilakukan para pelaku podcast seperti Dedy Corbuzier, Raditya Dika, Ananda Omesh, Habib Husein Ja'far, UAS, UAH, Gus Baha', Gus Muwaffiq, Gus Iqdam, dan sebagainya," katanya dalam dialog Kemenag Jatim di Surabaya (1/10/2024).

Dalam dialog bertema "Peran Strategi Aktor Moderasi Beragama" itu, Prof Nursyam menyatakan persoalannya bukan pada teknologi-nya, namun konten dari dakwah digital-nya itu yang harus disesuaikan dengan prinsip bangsa Indonesia yang plural dan cenderung mengambil "jalan tengah" (moderat), karena Pancasila-is, bukan kapitalis-sosialis.

Digitalisasi bisa dipakai untuk pengembangan moderasi beragama seperti dilakukan para pelaku podcast seperti Dedy Corbuzier, Habib Husein Ja'far, Gus Baha', Gus Muwaffiq, Gus Iqdam, dan kaum santri milenial saat ini.

BACA JUGA:Fitur Kirim Barang BRImo Mudahkan UMKM

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: