Pemerintah Bersiap untuk Skenario Terburuk

Rabu 07-07-2021,13:50 WIB
Reporter : redaksi rb
Editor : redaksi rb

  JAKARTA— Pemerintah mempersiapkan skenario terburuk jika pertambahan kasus harian Covid-19 mencapai 40 ribu hingga 50 ribu per hari. Bahkan lebih. Persiapan tersebut berupa suplai oksigen, obat-obatan, hingga kapasitas tempat tidur.

Hingga kemarin (6/7), pertambahan kasus positif harin Covid-19 memang menunjukkan tren yang mencemaskan. Dua hari berturut-turun kurva kasus memecahkan rekor pertambahan tertinggi. Kemarin, data dari Satgas Covid-19 melaporkan 31.189 kasus baru. Sementara sehari sebelumnya, jumlah kasus bertambah 29.745 kasus baru.

Tren kematian juga terus meningkat. Hanya dalam tempo satu minggu, kasus kematian meningkat dari 200 an per hari menjadi konsisten diatas 500 per hari. Bahkan, kasus kematian kemarin catat rekor tertinggi yakni 728 orang meninggal.

Koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali Menko Luhut Binsar Panjaitan, mengungkapkan pemerintah telah membuat skenario bagaimana jika nantinya jika pertambahan kasus positif mencapai 40 ribu per hari.

”Kita sudah hitung worst case scenario. Jika nanti kasus lebih dari 40 ribu per hari. Bagaimana suplai oksigen, obat, (suplai tempat tidur,Red) RS semua sudah kami hitung saya kira menkes sudah mempersiapkan seperti ICU, kemudian misalnya RS asrama haji di pondok gede, papar Luhut kemarin (6/7)

Luhut menyebut baha dalam 2 hari kedepan, RS Darurat Asrama Haji Pondok Gede sudah siap. Menampung lebih dari 800 pasien. Kemudian ada juga dukungan dari TNI-Polri yang juga menggelar rumah-rumah sakit darurat yang mereka punya. Baik itu di Jakarta maupun Surabaya.

”Semua kekuatan sedang kita kerahkan. Jangan sampai ada yang underestimate bahwa Indonesia ini tidak bisa mengatasi semuanya. Setidaknya sampai hari ini,” kata Luhut.

Meski kemudian, kata Luhut, kasus bisa saja melebihi 40 hingga 50 ribu per hari. Pemerintah akan beradaptasi dengan membuat skenario. ”Nanti siapa yang akan kita mintai tolong sudah mulai kita approach,” jelasnya.

Sejauh ini, kata Luhut, persediaan Oksigen di plot bisa untuk mendukung hingga sampai 50 ribu kasus per hari. ”Mungkn paling jelek sampai 60 hingga 70 ribu kasus per hari. Tapi kita semua tidak berharap itu terjadi. TNI Polri sudah melakukan penyekatan yang cukup baik,” katanya.

Untuk bisa menurunkan kasus, Luhut menyebut perlu penurunan mobilitas 30 hingga 50 persen. 30 persen sebenarnya cukup efektif, namun menghadapi varian delta yang lebih menular, penurunan mobilitas harus mencapai 50 persen.

“Saya harap pencapaian penurunan mobilitas harus minimal 30 persen kalau bisa 50 persen. Kalau minggu ini sudah bisa. Maka minggu depan kita berharap kasus sudah flattening baru kemudian menurun,” katanya.

Luhut menjelaskan, terjadi peningkatan penurunan mobilitas warga di seluruh kabupaten/kota di Jateng. Berdasarkan urutan teratas, yakni Banjarnegara, Kudus, Purbalingga, Boyolali, Banyumas, dan Grobogan daerah paling rendah.

Mobilitas warga tersebut dipantau melalui google traffic, night light NASA, dan facebook mobility. ”Kalau makin lama penurunannya, makin lama pula ini terjadi dan makin payah ekonomi kita. Presiden memerintahkan jangan lama lama mengenai masalah ini”, jelas Luhut.

Luhut melanjutkan, memang sebelumnya sempat terjadi kekurangan suplai oksigen. Namun dalam 2 3 hari terakhir, semua persediaan oksigen sudah dimobilitasi dari berbagai arah. ”Ada dari morowali 21 isotank sudah sampai kemarin ke Jakarta dan hari ini sudah didistribusikan,” katanya.

Kemudian suplai Oksigen didatangkan dari Cilegon dan Batam.  Luhut mengatakan, perhitungan suplai oksigen melihat kondisi 2 minggu kedepan. ”Sementara itu kita harapkan oksigen ini murni menolong orang yang di isolasi dan rawat intensif sedangkan yang ringan kan kita gunakan oksigen konsentrator,” katanya.

Konsentrator bekerja dengan mengambil udara biasa untuk kemudian diproses dan bisa dihirup. ”Kita pesan 10 ribu dan sebagian sudah datang dengan pesawat herkules dari Singapura. Akan ambil juga dari tempat lain kalau masih ada kekurangan,” kata Luhut.

Sementara itu, PT Pertamina (Persero) mengerahkan anak usahanya untuk membantu penyaluran kebutuhan oksigen. Bantuan itu juga termasuk penyediaan infrastruktur, sarana dan fasilitas pendukung, salah satunya melalui fasilitas ISO Tank atau tangki oksigen yang dioperasikan oleh Pertamina Group.

Penyediaan fasilitas tangki oksigen tersebut bekerja sama dengan pihak ketiga. Selanjutnya tangki yang memuat pasokan oksigen dari produsen oksigen itu akan disalurkan ke berbagai RS. Khususnya saat ini di area Jawa yang membutuhkan dalam waktu cepat.

Dirut Pertamina Nicke Widyawati menuturkan, total ISO Tank yang dikerahkan mencapai 27 tangki. ‘’Saat ini Pertamina sedang mengirimkan dengan kapal laut sebanyak 21 ISO Tank berkapasitas 20 ton dari Morowali Sulawesi Tengah dan 6 ISO Tank berkapasitas yang sama dari Balikpapan Kalimantan Timur yang akan tiba di pelabuhan Tanjung Priuk. Masing-masing pada 6 Juli dan 9 Juli 2021,’’ ujarnya kemarin.

Sebelumnya, Pertamina melalui Subholding Gas telah berhasil mengirimkan bantuan oksigen medis ke area Jawa. Di mana dukungan awal telah disampaikan ke 10 rumah sakit di Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan total volume  mencapai 29,9 ton. ‘’Volume itu akan terus ditambah, seiring dengan penambahan jumlah ISO Tank,’’ imbuh Nicke.

Kemarin pun pengiriman tambahan oksigen 16,5 ton sedang dijalankan Pertamina untuk RS Sardjito dan PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Penyaluran oksigen mengutamakan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan tindak lanjut dari informasi Satgas Oksigen Nasional atas keterbatasan oksigen di RS di wilayah tersebut.

Tracing dan testing menjadi pekerjaan rumah yang harus diseriusi pemerintah. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menuturkan bahwa pihaknya bahwa tracing di Indonesia sudah melampaui standar WHO. Badan kesehatan dunia itu  menargetkan testing 1/1000 penduduk perminggu. Artinya, untuk Indonesia diwajibkan tes sebanyak 38.000 perminggu. “Kita testingnya 70 ribu kadang 80 ribu orang perhari,” katanya.

Budi melanjutkan angka 1/1000 penduduk perminggu khusus untuk daerah yang positivity ratenya dibawah 5 persen. Jika lebih, maka tesnya harus dibuat lebih banyak. “Untuk daerah yang positivity ratenya 25 persen, saya minta ditingkatkan 15 kali standar WHO,” tutur Budi. Dengan cara ini maka dapat dengan cepat mengetahui siapa saja yang tertular dan dapat melakukan treatment.

Dia mengungkapkan bahwa daerah berebut nilai agar terlihat baik. Dengan kata lain tidak berzona oranye atau merah. Caranya dengan tidak membuka hasil testing di wilayahnya. “Kita tidak akan melihat (zona) merah, kuning, hijaunya berdasarkan kasus konfirmasi tapi berbasis positivity rate,” katanya. Sayang, Budi tak menjelaskan kapan rencana ini akan dimulai dilaksanakan.

Budi menambahkan bahwa pihaknya terus mengantisipasi penularan dari varian delta. Kemenkes mencoba menelaah provinsi mana saja yang berpotensi ada lonjakan kasus akibat varian delta ini. “Ada lima provinsi di Sumatera dan dua provinsi di Kalimantan yang harus hati-hati,” katanya. Budi menyebutkan provinsi tersebut antara lain Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung.

Epidemolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono seide dengan rencana Kemenkes mengubah zonasi penularan Covid-19. ’’Menurut saya riil data (Covid-19, Red) harus terukur. Berapa kontak tracing itu yang menjadi kinerja kabupaten atau kota,’’ katanya tadi malam.

Untuk itu Yunis setuju daerah tidak perlu diwarnai lagi. Selama ini pewarnaan tersebut diukur dari sepuluh indikator. Perinciannya ada lima indikator dari aspek epidemologi. Kemudian tiga indikator dari aspek surveilans dan dua indikator dari aspek pelayanan kesehatan.

Dengan dihapusnya sistem zonasi yang berlaku selama ini, pemda bisa berfokus untuk meningkatkan tracing-nya. Selama ini tracing pemda di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali masih rendah. Hanya DKI Jakarta yang tingkat tracing-nya relatif tinggi dibandingkan lainnya.

Melalui sistem baru nanti, Yunis mengatakan akan terlihat pemda-pemda mana yang tracing-nya di atas rata-rata nasional. Serta bisa diketahui pemda mana saja yang tracing-nya di bawah rata-rata nasional. Dia mengakui sampai saat ini tracing yang relatif tinggi baru di DKI Jakarta saja.

Yunis menuturkan dengan skema baru nanti, pemda digenjot untuk meningkatkan kapasitas tracing-nya. ’’Terlepas dari berapa banyak kasus positif baru yang muncul. Karena itu memang realita,’’ tuturnya.

Dia mengakui bahwa sesuai pedoman dari WHO, tracing dilakukan kepada 20 sampai 30 orang yang kontak erat dengan satu  kasus positif Covid-19. Sementara itu itu, saat ini tracing di Indonesia rata-rata masih lima sampai delapan orang kontak erat saja.

Menurut Yunis ada sejumlah kendala ketika nanti tracing ditingkatkan. Yaitu kendala SDM dan biaya. ’’SDM-nya tidak ada. Kalaupun ada, duit untuk membayarnya tidak ada,’’ katanya.

Sehingga sampai saat ini ujung tombak tracing dilakukan oleh pengurus RT, RW, serta Bhabinkamtibmas. Padahal mereka memiliki pekerjaan sendiri. Idealnya tracing dilakukan oleh petugas tracer yang kompeten. Diantaranya adalah mereka yang memiliki keahlian di bidang kesehatan masyarakat. Sehingga kontak penelurusannya bisa dijalankan dengan optimal. (jpg)

Tags :
Kategori :

Terkait