
RAKYATBENGKULU.COM - Nilai tukar rupiah diprediksi berpotensi menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam waktu dekat.
Prediksi ini disampaikan oleh Analis Mata Uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, yang menyoroti perkembangan positif dari rencana dialog antara AS dan China pasca-kebijakan tarif yang memanas.
“Menkeu AS Besent menyebutkan akan adanya kesepakatan dengan China dalam waktu dekat,” ujar Lukman dikutip dari ANTARANEWS.COM.
BACA JUGA:Tragis! Oknum Polisi Rudapaksa Ibu Mertua, Institusi Polri Ambil Langkah Tegas
BACA JUGA:Bye Varises! 5 Gerakan Sederhana Ini Bisa Bantu Meredakan Nyeri dan Bengkak Kaki
AS sebelumnya memberlakukan tarif impor yang cukup tinggi terhadap barang-barang asal China, dengan rincian sebagai berikut: tarif timbal balik sebesar 125 persen, tarif 20 persen terkait isu fentanil, serta tarif berdasarkan “Section 301” yang berkisar antara 7,5 hingga 100 persen.
Sebagai respons, China juga telah mengumumkan penerapan tarif balasan sebesar 125 persen terhadap produk-produk asal AS pada 11 April 2025.
Pernyataan terbaru dari Donald Trump juga menjadi sorotan, saat ia mengomentari besarnya tarif China. “Semalam, Trump mengatakan bahwa tarif China tidak akan mendekati 145 persen, namun juga bukan 0 persen,” kata Lukman.
BACA JUGA:Gotong Royong Lawan Banjir, Bupati Bengkulu Utara Turun Tangan Pasang Bronjong Demi Sawah Petani
BACA JUGA:Letusan Setinggi 900 Meter, Gunung Semeru Erupsi Lagi! Waspadai Ancaman Awan Panas dan Lahar
Di sisi lain, rupiah juga dinilai mendapat angin segar dari sentimen risk on yang muncul akibat pernyataan Trump mengenai Gubernur Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell.
“Mengenai Powell, dia cuman mengatakan tidak ada keinginan memecat Powell,” ungkap Lukman.
Namun demikian, pernyataan ini bertolak belakang dengan unggahan Trump sebelumnya di platform Truth Social pada 17 April 2025.
Dalam unggahan tersebut, Trump menyampaikan kekesalannya terhadap Powell dengan menulis: “Powell’s termination cannot come fast enough!”
Sikap keras Trump terhadap Powell disebut dipicu oleh pandangan pesimis Powell terkait dampak ekonomi dari kebijakan tarif besar-besaran yang diluncurkan Trump sejak awal April 2025.