O (Outlier): soroti data yang menyimpang.
R (Relevance): hubungkan dengan kepentingan publik.
Y (Your View): sertakan analisis atau sudut pandang jurnalis.
“AI bisa membantu mengolah data, tapi nilai utama jurnalis ada pada Your View. Itu tidak bisa digantikan mesin,” jelasnya.
Nitin juga menekankan prinsip komunikasi 3F: First, Fast, Factual. Menurutnya, menyajikan satu hingga tiga data poin yang fokus lebih efektif dibanding menjejalkan terlalu banyak angka.
BACA JUGA:Perkuat Hubungan Bilateral, Konsul Jenderal India di Medan Kunjungi Bengkulu
BACA JUGA:Gubernur Helmi Sambut Konsul Jenderal India, Bengkulu Siap Jalin Kerja Sama Strategis
Blind Spot dan Perspektif Baru
Nitin mendorong jurnalis agar berani mencari blind spot—isu penting yang sering luput dari perhatian. Ia mencontohkan krisis iklim yang baru mendapat sorotan puluhan tahun setelah revolusi industri.
Di sektor teknologi finansial, misalnya, banyak berita hanya menyoroti investasi besar dan unicorn. Padahal, menurut data, 70–80 persen dana justru terserap ke pinjaman dan payment gateway, bukan pada inklusi keuangan.
“Di situlah cerita yang lebih relevan dan berbeda,” ujarnya.
Ia juga mendorong framing positif berbasis data. “Isu menua tidak selalu beban, tapi bisa menjadi aset. Itu bukan memutarbalikkan fakta, melainkan memberi perspektif baru,” tambahnya.
BACA JUGA:Makanan India Pani Puri dan Somtam Thailand Viral di Bengkulu, Ini Tempatnya!
BACA JUGA:Benteng, Komunitas, Suara Laut dan Pintu
Senada dengan Nitin, Duta Besar India untuk Indonesia, Sandeep Chakravorty, menekankan bahwa literasi data adalah kunci jurnalisme modern. “Angka memperkuat argumen, tapi harus dimaknai dengan benar,” ujarnya.
Sementara itu, Primus Dorimulu, Pemimpin Redaksi Investor Trust, menekankan pentingnya etika verifikasi. Ia mengingatkan bahwa kecepatan publikasi tidak boleh mengorbankan akurasi.
“Komentar bebas, tapi fakta itu suci,” katanya.