Ketika Cerita Mengubah Kebijakan, Kekuatan Environmental Journalism dalam Era Krisis Iklim
Dalam era krisis iklim, Environmental Journalism memainkan peran penting dalam mengubah kebijakan dan membangun kesadaran publik.--dokumen/rakyatbengkulu.com
BENGKULU, RAKYATBENGKULU.COM - Di tengah meningkatnya suhu global, polusi udara yang kian parah, serta ancaman krisis iklim yang menghantui kota-kota besar dunia, satu hal menjadi semakin jelas: cerita memiliki kekuatan untuk mengubah kebijakan.
Dalam konteks ini, Environmental Journalism atau jurnalisme lingkungan hadir bukan sekadar untuk melaporkan fakta, melainkan untuk menyalakan kesadaran dan memicu tindakan nyata.
Isu lingkungan hari ini tidak hanya soal perubahan iklim, energi bersih, atau konservasi alam. Ia juga soal siapa yang bercerita, bagaimana cerita itu disampaikan, dan siapa yang berani menantang sistem demi masa depan yang lebih adil ekologis.
Di tengah tantangan tersebut, dua tokoh penting Asia Selatan — Anumita Roychowdhury, Direktur Eksekutif Centre for Science and Environment (CSE) India, dan Harry Surjadi, jurnalis lingkungan Indonesia — menegaskan bahwa kekuatan perubahan ada pada narasi yang berdasar pada data, empati, dan keberanian.
BACA JUGA:Strategic Studies di Kawasan Indo-Pasifik, Jurnalis India dan Indonesia Bahas Arah Diplomasi Baru
BACA JUGA:Jurnalisme Politik di Era Post-Truth: Bagaimana Political Reporting Menjaga Akurasi dan Integritas
Dalam forum Voices of Tomorrow: Environmental Journalism yang digelar pada 18 Oktober 2025, keduanya membahas bagaimana cerita bisa menjadi jembatan antara kebijakan publik dan partisipasi masyarakat.
Melalui perspektif mereka, tampak bahwa transformasi lingkungan hanya mungkin terjadi jika publik memahami masalahnya dan merasa menjadi bagian dari solusinya.
India Melangkah Lebih Cepat: Dari Euro 4 Langsung ke Euro 6
India menjadi contoh nyata bagaimana keberanian kebijakan dapat mengubah arah pembangunan. Pada April 2020, negara itu membuat keputusan besar: melewati standar emisi Euro 5 dan langsung menerapkan Euro 6 (Bharat Stage VI).
“Langkah ini bukan sekadar keputusan teknis. Ini adalah komitmen bahwa udara bersih harus menjadi hak publik, bukan kemewahan bagi segelintir kota besar,” ujar Anumita Roychowdhury.
Kebijakan ini menandai perubahan paradigma. Pemerintah India tidak hanya mendorong kendaraan listrik pribadi, tetapi juga menata ulang sistem transportasi publik agar lebih efisien, rendah emisi, dan netral karbon.
Di ibu kota New Delhi, sekitar 12 persen kendaraan baru kini bertenaga listrik. Tak berhenti di situ, India berhasil menurunkan harga bus listrik hingga lebih murah dari bus diesel dengan menerapkan strategi pembelian kolektif lintas kota, sehingga menciptakan efisiensi besar dalam pengadaan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


