Benteng, Komunitas, Suara Laut dan Pintu
Mahatma Muhammad.--dokumen/rakyatbengkulu.com
Bicara soal inovasi, jangan langsung bayangkan lampu LED atau proyektor digital saja. Itu dekorasi, Kawan! Tapi coba kita terjemahkan inovasi sebagai relasi tubuh tradisi yang bicara pada kegelisahan tubuh ini hari. Bagaimana dol bisa bicara kepada anakku-anakmu, adikku-adikmu yang tumbuh dengan TikTok? Bagaimana Tabot bisa dirasakan sebagai notifikasi ritual lintas generasi? Bagaimana pula modelnya sastra lisan bisa kembali hidup dalam bentuk teater musikal, rap, atau konten digital?
Bengkulu sudah punya banyak pintu untuk inovasi itu. Paket komplit! Ada cagar budaya benteng Marlborough atau rumah kediaman/pengasingan Bung Karno. Ada pula bahasa dan sastra lisan berupa pantun, dendang, cerita rakyat. Ia punya manuskrip, adat dan ritus seperti tabot dan kenduri laut. Kalau kurang, masih ada pengetahuan tradisional membaca cuaca, atau cara mengolah tanah. Ada teknologi tradisional kapal nelayan, dan anyaman. Ada seni yang terus berkembang seperti tari andun, dol, dan gamad. Ada permainan rakyat dan ada kuliner seperti pendap, tempoyak, dan kopi. Itu bahan bakar festival budaya semua. Tinggal yang kita perkuat adalah keberanian menafsirkannya.
Lalu, soal tema. Menurut saya, festival budaya tidak boleh main aman. Tema yang aman cuma untuk acara seremonial kan? Kita butuh tema yang provokatif, membumi, dan mengundang perdebatan. Misalnya: Dari Lada ke TikTok, Tabot dan Robot, atau Batik Besurek yang Terkoyak, Pendap Sedap Pendap Menjerap, Kopi Bengkulu Ngopi Mulu atau Tapak Padri dan Kutu Laut, Benteng Marlborough Buka Gerai Es Kopi, dll.
Tema yang begitu bukan untuk label, bukam asal aneh dan nyeleneh, tapi menjadi undangan untuk berpikir dan memantik kreatifitas lebih luas. Tema seperti itu bisa memprovokasi yang menggugah rasa penasaran publik dan kreativitas pelaku budaya kita. Bagi komunitas, tema-tema seperti itu bisa mempertegas posisi. Dengan melibatkan akademisi, tema-tema begitu bisa membuka ruang kritik. Jadilah tema-tema seperti itu sebagai strategi imajinasi kita.
Suara Laut dan Pintu?
Selain bukit yang berbaris, Bengkulu adalah laut. Saya percaya, laut selalu terbuka. Ia menerima kapal asing, rempah-rempah, dan pengaruh dari jauh. Tapi saya juga percaya, laut punya arus dan suara sendiri yang lahir dari komunitas budaya sekitarnya. Sebab itulah kebudayaan tidak pernah statis. Ia seperti laut yang bergelombang. Kadang tenang, kadang badai, tapi selalu bergerak. Festival Budaya harus berani mengikuti gerak ini, bukan menakutinya. Budaya tidak bisa jadi barang antik. Biarkan ia berdenyut, berisiko, dan selalu berubah.
Benteng Marlborough cuma tumpukan batu jika tidak diisi suara. Festival cuma jadi jadwal acara biasa jika tidak diberi narasi. Komunitas cuman pemain cadangan jika tidak diberi otoritas. Kalau Festival Serempak atau festival budaya sejenis yang kita gagas hanya menjadi pesta tahunan, ia akan padam begitu lampu panggung dimatikan dan pintu benteng ditutup.
Tapi kalau ia dijaga komunitas, disokong kolaborasi, dipicu inovasi, dan diberi tema yang berani, festival budaya ini bisa menjadi pintu masuk untuk tahun-tahun berikutnya. Pintu masuk generasi muda untuk kenal, mengakrabi, dan mengembangkan warisan budaya mereka. Pintu bagi Bengkulu untuk membaca ulang laut dan arus sejarahnya.
Budaya tidak berhenti pada satu generasi, kawan-kawan. Hehe.
27 September 2025
Penulis merupakan seniman, pengamat dan pekerja budaya. Pendiri Komunitas Seni Nan Tumpah.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


