HONDA

IRESS: Program PLTS Atap Berpotensi Merugikan PLN

IRESS: Program PLTS Atap Berpotensi Merugikan PLN

JAKARTA – Program pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap disebut sangat berpotensi merugikan PT PLN (Persero) sebagai BUMN penyedia listrik yang tentu saja bakal menjadi offtaker dari listrik yang dihasilkan PLTS Atap.09.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS), Marwan Batubara, dikutip Minggu (29/8).

Salah satu poin yang menjadi titik berat PLN, kata Marwan, yaitu terkait ekspor-impor listrik dari PLTS Atap. Sebab didalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN jo Permen ESDM No 13/2019 jo No 16/2019, salah satu poin yang direvisi adalah Pasal 6, dimana ketentuan tarif ekspor listrik ke PLN lebih besar dari 65 persen menjadi 100 persen, atau istilahnya 1 : 1.

“Tak hanya soal kewajiban (membeli listrik dari IPP/pemilik PLTS Atap, persoalan lainnya adalah soal biaya yang harus ditanggung PLN karena pembangkit yang telah ada tak lagi dipakai setelah adanya proyek EBT,” ujar Marwan.

Marwan menegaskan, kehadiran PLTS Atap yang dapat memasok atau mengekspor listrik kepada PLN di tengah kondisi saat ini, dinilai akan membawa dampak bagi pembangkit-pembangkit milik PLN yang ada sebelumnya.

“Dengan adanya pasokan (dari PLTS Atap) ini, ada sebagian dari pembangkit PLN yang operasionalnya tidak optimal atau dikurangi. Dengan begitu, operasi dari pembangkit ini menjadi tidak efisien. Artinya di situ ada cost yang lain yang nilainya bisa mencapai triliunan,” ujarnya.

Marwan menyebutkan bahwa memang ada pasokan listrik yang tidak dipakai oleh PLN. Namun, lanjutnya, sarana untuk itu telah dibangun sehingga mau tidak mau pembangkit pun diberhentikan sementara. Ketika sebuah pembangkit berhenti beroperasi, pembangkit tersebut menjadi tidak efisien sehingga menimbulkan biaya.

“Kenapa? Karena sebagian besar pembangkit itu sudah siap, tetapi akhirnya tidak efisien. Apalagi dengan adanya skema take or pay. Kalau bicara energi primer, di situ ada fixed cost, ada juga variable cost. Ini harus diperhatikan,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, saat ini RUU EBT tengah digodok di Parlemen. Salah satu hal yang mencuat adalah soal kewajiban PLN yang harus membeli listrik yang dihasilkan oleh pengembang energi atau Independent Power Producer (IPP). Selain Marwan, sejumlah pengamat isu energi menyatakan akan ada lonjakan biaya yang dikeluarkan perseroan itu, dan juga menjadi tanggungan negara. (git/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: